Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana menegaskan survei yang dilakukan oleh lembaga nirlaba asal Amerika Serikat, Fund for Peace, yang menempatkan Indonesia berada pada peringkat 63 dari 177 negara di seluruh dunia dalam Indeks Negara Gagal (Failed State Index-FSI), tidak dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara gagal.
Dalam jumpa pers yang diadakan di Gedung Bappenas, Senin (25/6), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana menjelaskan Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara gagal, karena hanya 2 dari 12 indikator yang masuk dalam bidang sosial, ekonomi, serta politik dan militer yang diukur oleh survei ini, yang penilaiannya memburuk, yakni tekanan demografis dan kekerasan kelompok.
“Dari 12 indikator, 6 membaik, 4 stagnan dan 2 memburuk, terus bagaimana dengan penilaian seperti ini lalu ada kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara gagal, itu kan fatal kesimpulannya,” ujar Armida Alisjahbana.
Pada kedua indikator yang memburuk ini Indonesia memperoleh indeks 7 di tahun 2007 sementara di tahun 2012 meningkat menjadi 7.4. Sementara kekerasan kelompok nilainya bergerak dari angka 6 di tahun 2007 menjadi 7,1 di tahun 2012.
Armida Alisjahbana menambahkan, “Di situ ada bencana alam, pengelolaan lingkungan, polusi, kelangkaan pangan dan malnutrisi, lalu indikator yang memburuk lainnya, yaitu group grievance (kekerasan kelompok), di situ ada diskriminasi, penindasan terhadap kelompok etnis, aliran kepercayaan dan agama.”
Menurutnya di luar dua indikator bernilai buruk tadi, Indonesia memperoleh penilaian membaik pada 6 indikator dan 4 indikator sisanya bernilai stagnan (relatif tetap).
Enam indikator yang bernilai membaik terkait penilaian atas masalah pengungsian, migrasi sumber daya manusia, pembangunan yang tidak merata, kemiskinan dan kemunduran ekonomi, pelayanan umum dan intervensi atau bantuan asing. Sedangkan 4 indikator yang stagnan adalah legitimasi negara, hak asasi manusia, aparatur keamanan dan elite yang terbagi dalam berbagai kelompok dalam masyarakat.
Apabila keseluruhan penilaian dari ke-12 indikator pada tahun ini ditotal, Indonesia memiliki indeks negara gagal sebesar 80.6 alias masuk dalam kategori buruk (warning) dari penilaian lembaga yang telah melakukan pengukuran sejak tahun 2007 hingga tahun 2012 ini. Meski begitu menurut Armida, Indonesia berada dalam kecenderungan kondisi membaik.
“Secara keseluruhan penilaian ini makin kecil angkanya dari tahun 2007 sejak pertama kali dihitung yaitu 84.4, lalu dalam penghitungan kemarin 2012 menjadi 80.6, berarti nilainya semakin kecil, semakin kecil itu artinya membaik, trend-nya membaik,” papar Armida Alisjahbana lagi.
Sementara, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris mengatakan penilaian negara gagal ini merupakan peringatan kepada pemerintah dan wajar diterima oleh Indonesia.
“Dalam banyak hal memang pemerintah sebagai aktor utama dalam negara tidak mengambil tindakan tegas dan melakukan eksekusi atas berbagai ancaman yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas selain soal kegagalan pemerintah dalam mengelola sumber daya ekonomi,” ungkap Syamsuddin Harris.
Ia menambahkan bahwa penegakan hukum dan kehadiran negara dalam berbagai persoalan penting dalam masyarakat, akan menjadi solusi yang paling baik.
“Kuncinya tetap ada pada kepemimpinan nasional,” demikian menurut Syamsuddin Haris.
Dalam jumpa pers yang diadakan di Gedung Bappenas, Senin (25/6), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana menjelaskan Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara gagal, karena hanya 2 dari 12 indikator yang masuk dalam bidang sosial, ekonomi, serta politik dan militer yang diukur oleh survei ini, yang penilaiannya memburuk, yakni tekanan demografis dan kekerasan kelompok.
“Dari 12 indikator, 6 membaik, 4 stagnan dan 2 memburuk, terus bagaimana dengan penilaian seperti ini lalu ada kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara gagal, itu kan fatal kesimpulannya,” ujar Armida Alisjahbana.
Pada kedua indikator yang memburuk ini Indonesia memperoleh indeks 7 di tahun 2007 sementara di tahun 2012 meningkat menjadi 7.4. Sementara kekerasan kelompok nilainya bergerak dari angka 6 di tahun 2007 menjadi 7,1 di tahun 2012.
Armida Alisjahbana menambahkan, “Di situ ada bencana alam, pengelolaan lingkungan, polusi, kelangkaan pangan dan malnutrisi, lalu indikator yang memburuk lainnya, yaitu group grievance (kekerasan kelompok), di situ ada diskriminasi, penindasan terhadap kelompok etnis, aliran kepercayaan dan agama.”
Menurutnya di luar dua indikator bernilai buruk tadi, Indonesia memperoleh penilaian membaik pada 6 indikator dan 4 indikator sisanya bernilai stagnan (relatif tetap).
Enam indikator yang bernilai membaik terkait penilaian atas masalah pengungsian, migrasi sumber daya manusia, pembangunan yang tidak merata, kemiskinan dan kemunduran ekonomi, pelayanan umum dan intervensi atau bantuan asing. Sedangkan 4 indikator yang stagnan adalah legitimasi negara, hak asasi manusia, aparatur keamanan dan elite yang terbagi dalam berbagai kelompok dalam masyarakat.
Apabila keseluruhan penilaian dari ke-12 indikator pada tahun ini ditotal, Indonesia memiliki indeks negara gagal sebesar 80.6 alias masuk dalam kategori buruk (warning) dari penilaian lembaga yang telah melakukan pengukuran sejak tahun 2007 hingga tahun 2012 ini. Meski begitu menurut Armida, Indonesia berada dalam kecenderungan kondisi membaik.
“Secara keseluruhan penilaian ini makin kecil angkanya dari tahun 2007 sejak pertama kali dihitung yaitu 84.4, lalu dalam penghitungan kemarin 2012 menjadi 80.6, berarti nilainya semakin kecil, semakin kecil itu artinya membaik, trend-nya membaik,” papar Armida Alisjahbana lagi.
Sementara, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris mengatakan penilaian negara gagal ini merupakan peringatan kepada pemerintah dan wajar diterima oleh Indonesia.
“Dalam banyak hal memang pemerintah sebagai aktor utama dalam negara tidak mengambil tindakan tegas dan melakukan eksekusi atas berbagai ancaman yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas selain soal kegagalan pemerintah dalam mengelola sumber daya ekonomi,” ungkap Syamsuddin Harris.
Ia menambahkan bahwa penegakan hukum dan kehadiran negara dalam berbagai persoalan penting dalam masyarakat, akan menjadi solusi yang paling baik.
“Kuncinya tetap ada pada kepemimpinan nasional,” demikian menurut Syamsuddin Haris.