Ketika VOA memasuki pintu gerbang, suasana tampak tenang dan tidak terlihat kegiatan seperti layaknya sebuah kilang anggur. Tapi itulah keadaan kilang anggur Sababay di daerah Gianyar, Bali.
Setelah memasuki ruang tunggu di lobi, tampak botol-botol anggur produksinya dan puluhan penghargaan digantung di dinding.
Minuman anggur memang bukan minuman khas bagi orang Indonesia, namun kilang anggur ini justru dimiliki oleh orang Indonesia yang semula tidak memahami tentang mengolah anggur menjadi suatu minuman.
Pemilik utama kilang anggur ini adalah Mulyati Gozali. Ketika berencana pensiun, Mulyati ingin menggeluti sebuah usaha yang kemudian bisa ia wariskan kepada anak-anaknya. Ia lalu berdiskusi dengan anak pertamanya, Evi Gozali yang baru kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan sekolahnya di Amerika. Awalnya ia sempat terpikir untuk membangun bisnis hotel.
“Ya, Bali kan kota tujuan wisata pertama di Indonesia," ujar Evi. "Tapi bisnis perhotelan sudah terlalu banyak, lagipula saya tidak mempunyai pengalaman di bidang perhotelan," tambahnya.
Dalam kebimbangannya harus memilih usaha apa yang akan mereka tekuni, Evi dan ibunya dengan iseng berjalan-jalan ke daerah-daerah perkebunan. Sampailah mereka di suatu kebun anggur di kawasan Banjar, Grogak, Buleleng. Di sana sedang panen anggur waktu itu dan tampaknya hasil panen itu dibiarkan begitu saja oleh para petani di sana. Bahkan salah seorang petani mendekati Evi dan mengatakan: “Ibu mau beli anggur? Murah, bu… hanya Rp 500 per kilogram," begitu tutur Evi mengenang awal bisnis anggurnya.
"Bayangkan saja, pada tahun 2009 masih ada petani Indonesia menjual hasil kebunnya dengan harga segitu, dan mereka tampak tidak menikmati hasilnya," kata Evi.
Itulah yang mengilhami Mulyati dan anaknya, Evi membuka kilang anggur pada tahun 2010 dan diberi nama “Sababay”, diambil dari nama Teluk Saba yang indah di Giayar, Bali. Semula Evi berpikir tentang memproduksi jus anggur. Namun ia memutuskan untuk memproduksi minuman anggur beralkhohol karena lebih menguntungkan dan dengan pertimbangan banyak wisatawan asing di Bali yang gemar minum anggur. Jus anggur nilainya hanya Rp 50.000 per liter, sementara minuman anggur beralkohol bisa dijual 3 atau 4 kali lipat dibanding jus anggur.
Selain itu, mereka tidak perlu lagi memikirkan tentang perkebunannya, karena 80 hektar kebun anggur milik para petani di daerah Buleleng itu siap menjadi pemasoknya.
"Justru itu saya hanya tinggal mendidik mereka bagaimana memanen dua jenis anggur, merah dan hijau dengan baik sebagai bahan utama wine yang kini kami produksi," ujar Evi kepada Puspita Sariwati dari VOA yang berkunjung ke kilang anggurnya.
Ketika ditanya mengenai bagaimana memperoleh tenaga ahli pembuat anggur, mengingat anggur bukanlah minuman khas Indonesia, Evi mempunyai cerita yang mengejutkan.
“Ada seorang pembuat anggur dari Bordoux, Perancis yang mengirim email ke perusahaan, memperkenalkan diri sebagai pembuat anggur dan berkeinginan bekerja di kilang anggur Sababay. Padahal saya kan belum tahu apakah anggur yang dia buat enak atau engga," tuturnya sambal tertawa. "Yah, puji Tuhan aja saya tidak usah mencari, malah ada tawaran datang sendiri," tambahnya.
Pakar anggur itu, Nicholas Martin Delacressonniere menjelaskan kepada VOA tentang anggur yang diproduksinya melalui tangki-tangki anggur setinggi 3 meter dengan diameter sekitar 1,5 meter, yang dia periksa tiap hari. Nicholas juga mengantar VOA ke laboratorium anggurnya di sana.
Kini Evi Gozali sibuk mengembangkan kilang anggur atau winery miliknya yang telah mempunyai 21 distributor di seluruh Indonesia. Sababay juga telah mendapat 33 penghargaan internasional dalam dua tahun. Dengan prestasi yang dicapai itu, Evi terus memandang masa depan Sababay menuju ke pasar internasional, salah satunya memenuhi undangan untuk mengikuti pameran di Albany Wine Festival, Amerika, pada tanggal 11 sampai 13 Januari 2018. [ps]