Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari belasan organisasi mendorong pemerintah untuk melindungi para pembela HAM. Direktur Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) Damairia Pakpahan beralasan, ada lebih dari 300 pembela HAM yang mendapat ancaman dan kekerasan sepanjang 2010-2018. Menurutnya, hal tersebut terjadi hampir merata pada pembela HAM di berbagai bidang. Antara lain pembela HAM lingkungan, perempuan, masyarakat adat, buruh, jurnalis dan antikorupsi.
"Bentuk ancamannya, dari 314 korban ada sekitar 131 yang mengalami kekerasan fisik. Paling banyak kriminalisasi, kekerasan fisik dan seksual dan kekerasan psikis," jelas Damairia di Gedung Komisi Yudisial, Kamis (13/12).
Damairia menambahkan pelaku ancaman dan kekerasan terhadap pembela HAM didominasi oleh aparat kepolisian, disusul perusahaan, orang tidak dikenal dan akademisi. Karena itu, ia mengusulkan agar kepolisian membuat aturan internal untuk melindungi para pembela HAM dari ancaman dan kekerasan dari personel Polri.
Menjawab itu, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Putut Eko Bayuseno mengakui tidak semua anggota Polri profesional dalam menjalankan tugas. Karena itu, kata Putut, institusinya memberikan pelajaran tambahan di satuan-satuan Polri untuk meningkatkan profesionalitas mereka. Di samping itu, masyarakat juga dapat mengadukan ke lembaganya jika menemui personel polisi yang tidak profesional.
"Buatlah surat pengaduan terhadap apa yang dialami kepada kami. Nanti akan kami tindaklanjuti, baik kami panggil ke Mabes Polri atau kami akan turun ke lapangan melakukan pengecekan," jelasnya.
Putut Eko menambahkan akan memberikan sanksi, jika nantinya anggota Polri terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi etik hingga pidana yang dapat berujung ke pemecatan. Menurutnya, rata-rata ada sekitar 100-200 personel Polri yang dipecat karena melakukan pelanggaran.
Sementara itu, Wakil Ketua Komnas HAM Hairansyah mengatakan lembaganya kesulitan menyelesaikan berbagai masalah yang dilaporkan para aktivis dari berbagai sektor. Sebab, kewenangan Komnas HAM terbatas pada pemantauan dan pemberian rekomendasi. Namun, kata dia, rekomendasi tersebut terkadang tidak dijalankan sehingga kasus yang ditangani Komnas HAM pada akhirnya tidak tuntas.
"Memang kembali lagi soal kewenangan. Itu yang kita mendorong revisi UU 39 tahun 1999 tentang HAM menjadi lebih baik. Karena kewenangan yang cukup kuat yang bisa menyelesaiakan berbagai kasus. Karena hanya 2 kewenangan yang hanya mungkin dilakukan sekarang yakni pemantauan, mediasi dan rekomendasi," jelas Hairansyah.
Selain mendorong revisi UU tentang HAM, Hairansyah menuturkan lembaganya juga mendorong Presiden Joko Widodo agar membuat peraturan presiden tentang kepatuhan rekomendasi. Sehingga, lembaga yang mendapat rekomendasi bersedia menjalankan masukan dari Komnas HAM. [Ab/ii]