Orde Baru sudah berlalu, tetapi praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lain, baik yang bermotif politik maupun dengan alasan “untuk meredam kejahatan,” hingga kini masih terus terjadi.
Insiden “Biak Berdarah” yang terjadi pada Juli 1998 ketika sejumlah personil militer Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Polri menyerbu dan menyerang masyarakat yang berkumpul di bawah menara air di kota Biak, Papua, ketika sebagian diantara mereka mengibarkan bendera “Bintang Kejora”; menewaskan puluhan orang. Ratusan luka-luka dan banyak yang hingga kini masih dinyatakan hilang.
Dua tahun kemudian kembali terjadi insiden serupa di kota yang sama, dan lagi-lagi tidak satu pun pelaku diseret ke meja hijau.
Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Yati Andriani, dalam jumpa pers di sebuah kafe di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/6) mengatakan selama setahun terakhir, sepanjang Juni 2017 hingga Mei 2018, ada 130 peristiwa penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lain yang dilakukan aparat keamanan. Ini mencakup 13 kasus pengaduan yang didampingi Kontras, dan 117 kasus hasil pemantauan media.
Penyiksaan dan tindakan manusiawi lain ini di antaranya kata Yati juga terjadi ketika aparat ingin mendapatkan informasi atau melakukan interogasi. Ditambahkannya, selama periode Mei 2017 sampai Juni 2018, ada 59 hukuman cambuk dilakukan di Aceh. Peristiwa ini menyebabkan 315 orang cedera, termasuk 52 perempuan.
Menurut Yati, secara umum Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998, dan secara khusus Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memilii aturan dan kode etik internal yang tegas, yang melarang anggotanya melakukan penyiksaan.
Namun, kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lain masih terus terjadi, bahkan secara kasat mata, sebagaimana kasus hukuman cambuk di Aceh yang dilakukan secara terbuka, terjadwal dan disaksikan ratusan orang, dengan sepengetahuan aparat keamanan dan otorita berwenang. Yani menggarisbawahi masih banyaknya celah dalam instrumen hukum Indonesia sehingga praktek penyiksaan masih terus terjadi.
"Realitasnya, sampai sekarang kami masih menemukan praktik-praktik penyiksaan yang dilakukan oleh anggota dua institusi tersebut (TNI dan Polri), termasuk juga kami temukan penyiksaan dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan atau sipir," ungkap Yati.
Kepala Divisi Advokasi Kontras Arif Nur Fikri menjelaskan selama Juni 2017 hingga Mei 2018, kasus penyiksaan terbanyak terjadi pada Juni 2017, yakni 18 peristiwa. Sedangkan angka terendah sebanyak enam kasus terjadi pada Januari dan Maret 2018.
Menurut Arif, anggota dari tiga institusi utama di Indonesia yaitu TNI, Polri, dan lembaga pemasyarakatan masih merupakan aktor utama pelaku penyiksaan.
"(Sebanyak) 80 peristiwa penyiksaan dilakukan oleh pihak kepolisian, 28 oleh pihak TNI, dan 22 oleh petugas-petugas lapas," ujar Arif.
Arif menambahkan dari 130 kasus penyiksaan sepanjang Juni 2017-Mei 2018, 78 kasus bermotif untuk mendapatkan pengakuan dan 52 lainnya sebagai bentuk hukuman.
Lebih lanjut Arif menyebutkan sel tahanan merupakan tempat penyiksaan paling sering terjadi, yakni sebanyak 64 kasus; disusul tempat terbuka (38 kasus), dan tempat tertutup (28 kasus).
Arif menegaskan penyiksaan di tempat terbuka, seperti pasar dan lapangan umum memiliki fungsi tambahan, yakni sebagai upaya mengendalikan masyarakat dengan memamerkan supremasi kekuasaan melalui penyiksaan untuk menebar teror dan mendapatkan kepatuhan warga terhadap aparat hukum atau keamanan.
Arif menambahkan praktek penyiksaan tersebar di 26 provinsi, dimana yang paling banyak terjadi adalah di Sumatera Utara (18 kasus), Sulawesi Selatan (17 kasus), dan Papua (10 kasus).
Sedangkan korban penyiksaan terbanyak selama periode tersebut adalah warga sipil (85 orang). Diikuti oleh tahanan kriminal (38 orang) dan tujuh aktivis. Arif menambahkan dari 130 kasus penyiksaan tersebut, terdapat 141 korban luka dan 27 orang tewas.
Anggota Staf Khusus Presiden Bidang Hak Asasi Manusia Ifdal Kasim mengakui sistem penegakan hukum saat ini memang masih belum bisa mengatasi sejumlah masalah, termasuk praktek penyiksaan leh aparat keamanan atau penegak hukum.
Salah satu upaya serius untuk mengurangi peristiwa penyiksaan oleh aparat itu, menurut Ifdal, adalah dengan pemberatan sanksi yang diatur dalam peraturan dikeluarkan oleh kepala Polri.
"Hasil dari temuan Kontras ini harus menjadi bahan bagi aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, untuk mulai membenahi di mana titik poin yang sering terjadi tindak pidana penyiksaan oleh aparatur penegak hukum. Menurut saya, kapolri harus segera memberi perhatian terhadap hal ini," papar Ifdal.
Ifdal menambahkan Presiden Joko Widodo juga telah mengambil sejumlah langkah untuk meminimalisir praktek penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Dia mencontohkan usulan pemerintah yang memasukkan pasal mengenai penyiksaan dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, kata dia, Joko Widodo juga telah memerintahkan Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk menggunakan cara-cara non-kekerasan ketika melakukan penyelidikan atau proses permintaan keterangan dari pelaku kejahatan. [fw/em]