Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai wacana pelonggaran remisi yang diungkapkan Menteri Hukum dan HAM, tidak sesuai dengan janji atau komitmen Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi.
Wakil Ketua Pelaksana Tugas Sementara KPK, Johan Budi Rabu (25/3), meminta Presiden Jokowi untuk melakukan pemberantasan korupsi secara massif sesuai dengan janji kampanyenya ketika pemilihan presiden lalu.
Dalam kampanyenya, Presiden Jokowi menyatakan bahwa korupsi dapat merusak tatanan sosial, budaya, ekonomi dan demokrasi.
Sehubungan dengan wacana pelonggaran pemberian remisi yang dilontarkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly harus dikaji secara mendalam. KPK lanjutnya tetap menolak rencana Kementerian Hukum dan HAM untuk memberi remisi kepada koruptor karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang tidak bisa disamakan dengan kejahatan biasa.
Jika wacana pelonggaran pemberian remisi untuk koruptor terlaksana maka kata Johan hal ini merupakan kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Pelonggaran pemberian remisi untuk koruptor menurut Johan tidak sejalan dengan janji Presiden Jokowi ketika kampanye.
Johan menyatakan dampak yang ditimbulkan dari korupsi sangat besar dan luas terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Bukan tidak boleh dapat remisi tetapi betul-betul diseleksi, diperketat sehingga upaya pemberantasan korupsi itu terkait untuk mengembalikan uang negara, sehingga ada efek jeranya bagi koruptor," tegas Johan.
Kementerian Hukum dan HAM berencana akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai aturan ini dinilai membatasi pemberian remisi terpidana korupsi. Yasonna mengatakan pemberian remisi untuk koruptor sangat diskriminatif.
Dalam Peraturan Pemerintah yang diterbitkan di era presiden SBY itu, remisi tetap bisa diberikan bagi terpidana korupsi yang memenuhi sejumlah syarat, terutama yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara pidana yang dilakukannya.
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengungkapkan Upaya untuk melonggarkan pemberian remisi untuk koruptor adalah bentuk keberpihakan terhadap koruptor .
Selain itu, pemberian remisi untuk koruptor dinilai tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku.
Berdasarkan catatan ICW, dari 479 terdakwa perkara korupsi, sebanyak 372 (77,6%) divonis di bawah 4 tahun. Sedangkan rata-rata vonis untuk koruptor adalah 2 tahun 8 bulan. Dengan rata-rata hukuman yang ringan ditambah dengan adanya remisi, maka dianggap tidak akan memberikan efek jera untuk pelaku korupsi.
Untuk itu Emerson berharap Menteri Hukum dan HAM membatalkan rencana tersebut.
"Untuk koruptor yang sekarang ditakuti bukan pidana penjara tetapi juga pemiskinan. Jadi, selain penjara yang maksimal tetapi juga ada pemiskinan. Koruptor bisa dijerat bukan hanya Undang-undang korupsi tetapi juga pencucian uang," kata Emerson.
Emerson menambahkan Pemiskinan atau pengambilan aset atau harta hasil korupsi sebenarnya juga harus dilakukan untuk menambah efek jera bagi koruptor.
Menurut Emerson, upaya penyitaan harta kekayaan seorang koruptor pun dapat dilakukan dengan pembuktian terbalik, di mana si pelaku tindak korupsi harus membuktikan bahwa sejumlah harta kekayaan yang dimilikinya bukanlah hasil korupsi.
"Jadi, bila aparat penegak hukum sudah bisa membuktikan dan menunjukkan bahwa harta yang diperoleh merupakan hasil korupsi, maka aset si koruptor itu sudah pasti bisa disita oleh negara," demikian papar Emerson.