Server untuk mengelola sistem lelang elektronik di sebuah kabupaten di Jawa Timur, tiba-tiba mati. Para pemilik usaha yang ingin mengikuti lelang pengadaan barang dan jasa dari pemerintah pun dibuat kebingungan. Setelah diselidiki, ternyata server itu sengaja dimatikan. Sejumlah aktivis anti-korupsi pemantau sistem itu kemudian mendatangi kantor tersebut. Mereka menghidupkan server dan menungguinya, bahkan tidur di sana, sehari semalam.
Peristiwa itu dikisahkan kembali oleh Laits Abied dari Badan Pekerja ICW kepada VOA, ketika ditanya tentang akal-akalan pengusaha menghadapi sistem lelang online. Dalam kasus di sebuah kabupaten di Jawa Timur itu, penawaran elektronik kemudian lancar terkirim dari banyak perusahaan, setelah server dijaga para aktivis. Abied mengatakan, mematikan server hanya satu cara yang dipakai.
“Yang lain itu mengecilkan bandwidth internet. Karena semua berbasis internet, ketika bandwidth internet diperkecil, itu mengganggu karena ketika orang akan memasukkan dokumen menjadi lambat dan bahkan tidak bisa diunggah ke sistem. Itu masih banyak terjadi. Ini model baru, karena dalam sistem lelang manual dulu, yang seperti itu tidak terjadi,” kata Abied.
Ada juga cara yang lebih sederhana untuk mengakali sistem. Dalam kasus pengadaan videotron di Kementerian Koperasi dan UKM, kata Abied, ada peserta lelang bekerja sama dengan petugas lelang. Jika peserta lain harus bersusah payah mengunggah dokumen mereka, peserta ini datang ke kantor pengelola lelang elektronik membawa flash disk. Dia kemudian meminta petugas lelang untuk memasukkannya ke dalam sistem, sehingga menjadi lebih mudah dan cepat.
Persengkokolan Jahat dalam Lelang
Abied berbicara kepada VOA di sela-sela penyelenggaraan Workshop Peningkatan Kapasitas Koalisi Masyarakat Sipil di Yogyakarya. Workshop ini diselenggarakan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) selama tiga hari dan berakhir Rabu (3/7).
Di depan peserta workshop, Mita Astari Yatnanti dari LKPP menguraikan berbagai jenis persengkokolan terkait sistem lelang elektronik. Model pertama adalah persengkokolan vertikal yang langsung melibatkan aparat pemerintah. Cara yang diterapkan antara lain menetapkan syarat diskriminatif yang hanya bisa dipenuhi oleh perusahaan tertentu. Petugas lelang juga membocorkan detil pengadaan hanya kepada satu perusahaan yang akan dimenangkan. “Rencana Umum Pengadaan kemudian diumumkan hanya dua jam menjelang pemilihan. Tentu saja hanya satu perusahaan yang bisa memenuhi syarat-syarat karena sudah menerima informasi sebelumnya,” kata Mita.
Persengkokolan juga bisa dilakukan secara horizontal antar peserta lelang, yang diistilahkan sebagai bagi-bagi kue. Ada sejumlah perusahaan secara bersama-sama mengikuti lelang, tetapi ada satu yang dijagokan menang. Perusahaan lain secara sengaja tidak memenuhi seluruh syarat atau membuat dokumen dengan banyak kesalahan. Dalam sejumlah kasus, dokumen sejumlah perusahaan ini sangat mirip, karena dibuat oleh satu pihak saja sehingga format surat dan kata-katanya nyaris sama persis.
Model ketiga adalah gabungan kedua jenis persengkokolan itu. Petugas lelang bekerja sama aktif dengan sejumlah perusahaan penyedia barang dan jasa dalam proses lelang, dan sepakat perusahaan mana yang akan dimenangkan.
Laits Abied dari ICW menyebut, semua modus itu bisa diminimalisir dengan peran serta masyarakat.
“Modusnya banyak sekali yang diciptakan oleh para pelaku penyimpangan. Karena itu, meskipun teknologi sudah sedemikian baik, tetapi yang namanya penyimpangan itu tetap terjadi. Makanya kita tetap harus melakukan pemantauan, meskipun pengadaan barangnya sudah secara elektronik,” tambah Abied.
Indonesia terus menyempurnakan sistem lelang elektronik pengadaan barang dan jasa karena menurut data 42 persen kasus korupsi yang ditangani terkait kegiatan ini. Data di KPK hingga akhir 2018 menunjukkan, pengadaan barang dan jasa menempati peringkat kedua setelah penyuapan sebagai perkara korupsi paling banyak disidik.
Dorong Pelibatan Publik
Masyarakat terus didorong untuk turut terlibat dalam pengawasan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Upaya ini memang tidak mudah, karena proses ini selama ini tidak banyak diekspos. Sistem lelang elektronik juga tidak serta merta membuat upaya tersebut menjadi lebih mudah.
Direktur IDEA Yogyakarta, Tenti Novari Kurniawati kepada VOA mengatakan, ada banyak faktornya mengapa pengawasan oleh masyarakat masih lemah. Salah satunya adalah karena memang masyarakat tidak terbiasa dengan budaya pengawasan kinerja pemerintah. Bahkan untuk mau memberikan masukan dan kritik, terutama terkait kebijakan pemerintah, masih perlu proses edukasi yang panjang.
“Kalau berbicara soal e-procurement, meskipun prosesnya sudah terbuka, bahkan di rumah kita bisa mengakses lewat LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik), tetapi memang itu wilayah yang sangat teknokratis. Partisipasi publik selama ini memang tidak didorong secara maksimal terkait pemantauan pengadaan barang dan jasa. Ke depan kita akan mendorong open contracting yang lebih melibatkan publik,” kata Tenti.
IDEA adalah lembaga swadaya masyarakat yang aktif mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Dorongan partisipasi itu dilakukan sejak penyusunan anggaran dan selama ini telah terlaksana dengan baik. Tenti mengakui, ketika masuk ke ranah pengawasan, masih ada kendala yang belum teratasi. Budaya, ewuh pakewuh dalam tradisi Jawa, yaitu merasa tidak enak mengungkit kekurangan atau kesalahan pihak lain adalah salah satunya. Selain itu, juga ada tantangan keamanan. “Yang paling sederhana, misalnya ketika ada yang melaporkan kasus pungutan liar di sekolah, maka anak pelapor bisa saja akan diancam,” kata Tenti.
Lelang elektronik pengadaan barang dan jasa, kata Tenti menjadikan proses ini transparan dan setara. Banyak perusahaan kecil bisa bersaing dengan penyedia jasa besar secara terbuka. Namun, masih perlu penyermpurnaan, terkait sosialisasi sistem itu sendiri kepada masyarakat. Sistem ini juga harus mendorong pembukaan dokumen kontrak yang selama ini sulit diakses karena dianggap menyangkut rahasia perusahaan. Namun menurut Tenti, karena menggunakan anggaran publik, seharusnya seluruh dokumen bersifat terbuka.
“Kita harus memberikan pemahaman kepada masyarkaat, bahwa kita punya hak untuk melakukan pemantauan barang dan jasa, karena di situlah proses pembangunan itu bisa kita cek dan pantau. Sistemnya sudah tersedia, tinggal bagaimana kita meng-encourage dan memberikan digital literacy kepada publik,” papar Tensi. [ns/lt]