Alex Lee melakukan perjalanan lintas Amerika dengan sepeda, dimulai dari LA, California, dan tujuannya adalah Boston, Massachussetts, dalam rangka mengilhami generasi berikutnya, para pembela demokrasi di China.
Dia menyebarkan luaskan pesannya di AS, karena menurut Lee pers bebas disini akan melaporkan perjalanannya, dan di Amerika terdapat banyak orang Tionghoa.
Dia juga ingin memperlihatkan kepada orang Amerika bahwa banyak orang Tionghoa seperti dirinya yang tidak setuju dengan Partai Komunis China atau CCP.
Lee, usia 36 tahun, besar di sebuah kota pantai kecil dekat Beijing, yang memiliki akses informasi terbatas. Pada usia 24 tahun dia menemukan ruang chat di mana diskusinya tidak disensor.
Ketika itu dia berdebat dengan orang-orang luar negeri, dia membela dengan semangat patriotik CCP, sampai, katanya, dia mendalami sejarah partai itu dan menemukan sebuah riwayat berbeda dari apa yang diajarkan kepadanya selama ini.
“Liberal dan konservatif berdebat satu sama lain setiap hari,” kata Lee, tentang apa yang disaksikannya di internet ketika menggunakan platform itu dari 2009 sampai 2010.
Dia kemudian belajar sosiologi di Jepang pada 2016, tetapi tiga tahun kemudian, pergi ke Hong Kong untuk bergabung dengan protes pro-demokrasi dan berpidato karena disana tidak sedemikian ketatnya seperti di China daratan, katanya.
“Saya berpikir, sebagai seorang ahli sosiologi, saya bisa berbuat sesuatu untuk gerakan protes ini karena kami mendukung demokrasi dan kebebasan,” katanya.
Pada peringatan 100 tahun CCP tahun ini, VOA melaporkan kekecewaan di kalangan rakyat Hong Kong. Meskipun mahasiswa pada tahun 90-an terilhami untuk mengejar karir politik, ketika Hong Kong dikembalikan kepada China pada 1997 dari kekuasaan Inggris, tetapi kini pembela demokrasi disana mengatakan, impian perwakilan terbuka di dalam pemerintahan semakin memudar.
Keterlibatan mahasiswa Hong Kong dalam gerakan protes tumbuh secara dramatis sampai tahun lalu, ketika sebuah UU keamanan nasional yang kontroversial secara signifikan memberangus kebebasan demokratik.
“Warga muda mengenakan masker sebelum COVID untuk menyembunyikan identitas mereka dan menggunakan nama samaran,” demikian menurut Paul Greaney, yang kuliah di Fudan University, Shanghai, dan melaporkan protes mahasiswa di Hongkok pada 2019.
“Setiap peserta di garis depan adalah anak-anak muda, dan mayoritas dari mereka terdidik dan sangat pandai,” katanya.
Media sosial seperti aplikasi Telegram merupakan alat penting dalam mengkomunikasikan gerakan protes, sementara mahasiswa dan warga muda semakin ditekan oleh kekuasaan otoriter.
“Banyak orang tua yang saya hubungi mendukung anak-anak muda ini, karena mereka tidak bisa berada di garis depan,” kata Greaney. “Mereka benar-benar berani, mereka siap untuk ditangkap.”
Lee, terakhir ditemui di padang pasir Mojave yang mencakup California, Nevada, Utah, dan Arizona, dan dia mengatakan perjalanannya hampir kandas ketika didera suhu panas 43 derajat Selsius ketika bersepeda sepanjang jalan berpasir.
Tetapi dia ingin bertahan setelah dibantu di sepanjang jalan itu oleh warga Amerika.
“Idealis adalah orang yang tetap punya keberanian dan keyakinan untuk memperjuangkan cahaya pada malam yang kelam,” demikian bunyi pesan teksnya.
“Saya bukan orang pertama yang melintasi Amerika dari pantai ke pantai, tetapi kemungkinan saya adalah orang pertama yang melakukan ini guna mendukung gerakan protes rakyat Hong Kong dan demokrasi.” [jm/my]