Media pemerintah Tiongkok melaporkan bahwa mantan raja Kamboja, Norodom Sihanouk, salah satu pemimpin Asia Tenggara yang berpengaruh, telah meninggal dunia di Beijing pada Senin (15/10) dini hari. Para pejabat pemerintah Kamboja mengatakan mantan pemimpin itu meninggal dunia karena sebab-sebab yang wajar dan telah menerima perawatan medis. Raja Sihanouk mangkat di usia 89 tahun.
Sihanouk naik tahta tahun 1941 dan memerintah Kamboja dengan secara terputus-putus selama lebih 60 tahun.
Sihanouk dianggap berjasa memimpin kerajaan kuno-nya melalui masa kemerdekaan dari Perancis, perang dan genosida untuk membentuk demokrasi yang rapuh. Pada masa Perang Vietnam, Sihanouk digulingkan sebentar oleh kudeta militer ketika ia berada di luar negeri.
Raja Sihanouk memimpin Kamboja mencapai kemerdekaan, namun perang dan perannya dalam kekuasaan berdarah Khmer Merah menodai hidup dan periode tahtanya.
Pemimpin kerajaan yang flamboyan, politisi dan pembuat film serta pencipta lagu, Raja Norodom Sihanouk membawa kerajaan tua tersebut melalui kemerdekaan dari Perancis, perang dan pembantaian untuk membentuk demokrasi yang rapuh.
Sihanouk, lahir pada 1922, merupakan anak tunggal dari orangtua yang diasingkan. Ia mendapat pendidikan di Saigon dan Paris, dan diangkat raja pada usia 19 tahun, saat ia masih menjadi pelajar yang pemalu pada 1941.
Sihanouk merupakan politisi yang flamboyan namun keras, dengan dukungan utama datang dari orang-orang di daerah. Ia menguasai tahta selama lebih dari 60 tahun, dan merupakan simbol penting bagi rakyatnya, yang menyaksikan salah satu dari kekuasaan yang melakukan genosida paling tragis pada Abad 20.
Penulis dan komentator untuk Kamboja, David Chandler mengatakan bahwa Sihanouk merupakan penghubung penting antara tradisi kuno dan periode modern.
“Ia membawa Kamboja ke dunia, tidak seperti Perancis yang menutupnya dan mengisolasinya selama 90 tahun. Namun ia juga merupakan tokoh Kamboja lama,” ujarnya.
Saat Kamboja masih di bawah penjajahan Perancis pada 1947, ia mengesahkan konstitusi yang menjanjikan pemerintahan parlementer. Kamboja meraih kemerdekaan parsial di bawah Uni Perancis pada 1949, namun Sihanouk mendorong kemerdekaan total yang dicapai dengan damai pada November 1953.
Dua tahun kemudian, Sihanouk menyerahkan tahta pada ayahnya, namun tetap menjadi kepala pemerintahan. Dalam posisi tersebut, Sihanouk memegang monopoli kekuasaan selama 15 tahun berikutnya dalam apa yang disebut “Era Sihanouk.”
Di panggung dunia, Sihanouk merupakan salah satu pendiri Gerakan Non-Blok, yang bertujuan menjadi penyeimbang antara blok Tiongkok-Soviet dan Barat.
Namun Sihanouk gagal menangkis pemberontakan komunis dan juga dari dalam pemerintahannya. Selama Perang Vietnam, para pemberontak yang didukung TIongkok dan pemerintahan komunis lain membangun kekuatan, dan tentara Vietnam Utara juga seringkali menyeberang ke Kamboja saat berperang melawan Amerika Serikat. Akhirnya, ia terusir dari pemerintahan.
Carl Thayer, ahli mengenai Asia Tenggara dari AS, menjelaskan, “Ia dijungkalkan ketika sedang ada di luar negeri untuk memohon pada Rusia dan Tiongkok untuk menghentikan dukungan mereka untuk [Perang Vietnam].”
Setelah tidak berkuasa lagi, Sihanouk kabur ke Tiongkok pada 1970 ketika kemarahannya terhadap pemerintahan baru memicu konflik internal yang memberi jalan bagi penguasa Khmer Merah.
Setelah Khmer Merah masuk ke Phnom Penh pada awal 1975, Sihanouk bersekutu dengan kelompok komunis radikal itu, dengan meyakini bahwa itu kunci menuju kekuasaan. Namun pada 1976, ia dipinggirkan dan khawatir nyawanya terancam.
Khmer Merah jatuh pada awal 1979, setelah serbuan Vietnam. Namun nama Sihanouk tercemar karena hubungannya dengan gerakan tersebut, yang menewaskan hampir dua juta orang Kamboja.
Perang sipil Kamboja berlanjut setelah Vietnam menarik pasukannya pada 1989, dan pada 1991, faksi-faksi yang berperang menyetujui gencatan senjata dan menandatangani persetujuan perdamaian yang didukung PBB.
Perjanjian tersebut memungkinkan Sihanouk untuk kembali ke Phnom Penh pada 1991 dari pengasingan. Ia meraih kembali tahtanya pada 1993, dan menjadi figur sentral dalam perkembangan politik negara tersebut selama lebih dari 10 tahun terakhir.
Ia kembali dari pengasingan tahun 1991 dan memperoleh kembali singgasananya tahun 1993 dan menjadi tokoh penting dalam pembangunan negara itu.
Sihanouk menyerahkan tahtanya kepada putranya, Norodom Sihamoni, tahun 2004 karena alasan usia yang sudah lanjut dan masalah kesehatan.
Putranya yang lain, Pangeran Norodom Ranariddh, pada 2002 membicarakan bakat seni dan ketertarikan yang luas dari sang ayah.
"Ia telah membuat 21 film. Namun ia bukan hanya pembuat film, ia adalah politisi yang handal, bahkan unik… dan ia juga ahli masakan Perancis yang hebat, musisi yang luar biasa, komposer. Tidak ada yang dapat meniru ayah saya,” ujarnya.
Sihanouk naik tahta tahun 1941 dan memerintah Kamboja dengan secara terputus-putus selama lebih 60 tahun.
Sihanouk dianggap berjasa memimpin kerajaan kuno-nya melalui masa kemerdekaan dari Perancis, perang dan genosida untuk membentuk demokrasi yang rapuh. Pada masa Perang Vietnam, Sihanouk digulingkan sebentar oleh kudeta militer ketika ia berada di luar negeri.
Raja Sihanouk memimpin Kamboja mencapai kemerdekaan, namun perang dan perannya dalam kekuasaan berdarah Khmer Merah menodai hidup dan periode tahtanya.
Pemimpin kerajaan yang flamboyan, politisi dan pembuat film serta pencipta lagu, Raja Norodom Sihanouk membawa kerajaan tua tersebut melalui kemerdekaan dari Perancis, perang dan pembantaian untuk membentuk demokrasi yang rapuh.
Sihanouk, lahir pada 1922, merupakan anak tunggal dari orangtua yang diasingkan. Ia mendapat pendidikan di Saigon dan Paris, dan diangkat raja pada usia 19 tahun, saat ia masih menjadi pelajar yang pemalu pada 1941.
Sihanouk merupakan politisi yang flamboyan namun keras, dengan dukungan utama datang dari orang-orang di daerah. Ia menguasai tahta selama lebih dari 60 tahun, dan merupakan simbol penting bagi rakyatnya, yang menyaksikan salah satu dari kekuasaan yang melakukan genosida paling tragis pada Abad 20.
Penulis dan komentator untuk Kamboja, David Chandler mengatakan bahwa Sihanouk merupakan penghubung penting antara tradisi kuno dan periode modern.
“Ia membawa Kamboja ke dunia, tidak seperti Perancis yang menutupnya dan mengisolasinya selama 90 tahun. Namun ia juga merupakan tokoh Kamboja lama,” ujarnya.
Saat Kamboja masih di bawah penjajahan Perancis pada 1947, ia mengesahkan konstitusi yang menjanjikan pemerintahan parlementer. Kamboja meraih kemerdekaan parsial di bawah Uni Perancis pada 1949, namun Sihanouk mendorong kemerdekaan total yang dicapai dengan damai pada November 1953.
Dua tahun kemudian, Sihanouk menyerahkan tahta pada ayahnya, namun tetap menjadi kepala pemerintahan. Dalam posisi tersebut, Sihanouk memegang monopoli kekuasaan selama 15 tahun berikutnya dalam apa yang disebut “Era Sihanouk.”
Di panggung dunia, Sihanouk merupakan salah satu pendiri Gerakan Non-Blok, yang bertujuan menjadi penyeimbang antara blok Tiongkok-Soviet dan Barat.
Namun Sihanouk gagal menangkis pemberontakan komunis dan juga dari dalam pemerintahannya. Selama Perang Vietnam, para pemberontak yang didukung TIongkok dan pemerintahan komunis lain membangun kekuatan, dan tentara Vietnam Utara juga seringkali menyeberang ke Kamboja saat berperang melawan Amerika Serikat. Akhirnya, ia terusir dari pemerintahan.
Carl Thayer, ahli mengenai Asia Tenggara dari AS, menjelaskan, “Ia dijungkalkan ketika sedang ada di luar negeri untuk memohon pada Rusia dan Tiongkok untuk menghentikan dukungan mereka untuk [Perang Vietnam].”
Setelah tidak berkuasa lagi, Sihanouk kabur ke Tiongkok pada 1970 ketika kemarahannya terhadap pemerintahan baru memicu konflik internal yang memberi jalan bagi penguasa Khmer Merah.
Setelah Khmer Merah masuk ke Phnom Penh pada awal 1975, Sihanouk bersekutu dengan kelompok komunis radikal itu, dengan meyakini bahwa itu kunci menuju kekuasaan. Namun pada 1976, ia dipinggirkan dan khawatir nyawanya terancam.
Khmer Merah jatuh pada awal 1979, setelah serbuan Vietnam. Namun nama Sihanouk tercemar karena hubungannya dengan gerakan tersebut, yang menewaskan hampir dua juta orang Kamboja.
Perang sipil Kamboja berlanjut setelah Vietnam menarik pasukannya pada 1989, dan pada 1991, faksi-faksi yang berperang menyetujui gencatan senjata dan menandatangani persetujuan perdamaian yang didukung PBB.
Perjanjian tersebut memungkinkan Sihanouk untuk kembali ke Phnom Penh pada 1991 dari pengasingan. Ia meraih kembali tahtanya pada 1993, dan menjadi figur sentral dalam perkembangan politik negara tersebut selama lebih dari 10 tahun terakhir.
Ia kembali dari pengasingan tahun 1991 dan memperoleh kembali singgasananya tahun 1993 dan menjadi tokoh penting dalam pembangunan negara itu.
Sihanouk menyerahkan tahtanya kepada putranya, Norodom Sihamoni, tahun 2004 karena alasan usia yang sudah lanjut dan masalah kesehatan.
Putranya yang lain, Pangeran Norodom Ranariddh, pada 2002 membicarakan bakat seni dan ketertarikan yang luas dari sang ayah.
"Ia telah membuat 21 film. Namun ia bukan hanya pembuat film, ia adalah politisi yang handal, bahkan unik… dan ia juga ahli masakan Perancis yang hebat, musisi yang luar biasa, komposer. Tidak ada yang dapat meniru ayah saya,” ujarnya.