Bagi Amrullah Soleh, 23, mendapatkan pekerjaan setelah cap mantan narapidana terorisme (napiter) melekat pada dirinya bukanlah hal yang mudah.
Pilihan untuk menyambung hidup bagi pria asal Dusun Tamanjeka, Desa Masani, Poso, Sulawesi Tengah, itu kini terletak pada kemampuannya untuk membuka usaha sendiri.
“Sekarang kita itu ada garis merahnya, bekas napiter jangan-jangan nanti orangnya begini. Jadi bagaimana ya, setelah kita melamar kerja, status kita sudah di-tahu (ketahui.red), akhirnya kita bingung juga kan. Akhirnya kita usaha kecil-kecilan begini,” ungkap Amrullah yang bercita-cita dapat mendirikan usaha warung makan dan kios sembako.
Amrullah, yang dulu ditangkap atas keterlibatannya dalam aksi kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT), meyakini bahwa dengan memiliki pekerjaan maka mantan napiter seperti dirinya tidak akan mau kembali terpengaruh dengan paham kekerasan dan terorisme.
“Mereka diajak mau ngapain kalau dia sudah sibuk lakoni kerjanya tidak akan terpengaruh, apalagi kalau sudah ada anak istrinya harus cari kerja soalnya embel-embel napiter itu susah cari kerja sekarang,” jelas Amrullah.
Amrullah dan 19 orang mantan napiter lainnya di Poso ikut ambil bagian dalam serangkaian kegiatan pelatihan keterampilan dalam “Program Psiko-Sosial untuk Poso yang Lebih Kuat (ProPosoku)” yang diinisiasi oleh The Habibie Center (THC) bekerja sama dengan Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso.
Kegiatan yang telah dimulai sejak bulan Juni lalu itu bertujuan untuk mengembangkan kapasitas mantan napiter dalam teknik negosiasi dan persuasi dalam aktivitas usaha ekonomi.
“Kita juga membekali mereka dengan kemampuan negosiasi misalnya begitu, jadi kalau tidak setuju pada sesuatu, jangan pakai kekerasan, banyak alternatif yang lain bisa dipakai. Bisa dialog, diskusi, negosiasi. Banyak sekali cara yang kita perkenalkan kepada mereka daripada cara kekerasan atau cenderung kekerasan yang dulu biasa mereka lakukan,” kata Imron Rasyid selaku peneliti THC ketika ditemui VOA, pada Minggu (16/10).
Program ProPosoku yang didukung Sasakawa Peace Foundation dari Jepang tersebut dimulai sejak April 2022 hingga Maret 2023, terdiri atas tiga pelatihan di dalam kelas dan sembilan pelatihan di luar kelas.
Menurut Imron, pelatihan itu dilakukan merespon hasil penilaian lapangan (asesmen) yang dilakukan THC dan LPMS pada tahun 2021 yang menemukan adanya kebutuhan dari para mantan napiter yang ingin mendapatkan pelatihan keterampilan usaha termasuk pengelolaan keuangan bagi perempuan atau istri mereka.
“Salah satu asesmen yang kita lakukan misalnya, isinya itu justru teman-teman ini butuh penguatan di financial literacy. Jadi katakanlah sudah ada usaha kecil-kecilan, warung kelontong, tapi sebetulnya mengelolanya itu masih sangat terbatas, jadi mereka perlu (cara melakukan) pencatatan-pencatatan sederhana, pengelolaan uang, bagaimana uang harus dipisahkan mana uang bisnis dan uang keluarga,” jelas Imron.
Seusai menjalani hukuman dan kembali ke tengah masyarakat, sebagian dari para mantan napiter di Poso melakukan kegiatan usaha ekonomi skala kecil untuk mencari nafkah.
Jumardi, 37, seorang mantan napiter yang bebas pada tahun 2018, setiap hari dengan mengendarai sepeda motor mengantarkan sayur-mayur dari petani di sekitar desanya kepada lapak-lapak penjual di Kota Poso.
Menurutnya dari kegiatan pelatihan yang diikutinya sejak Juni 2022 lalu, dia mempelajari cara berkomunikasi saat menawarkan sayur-mayur kepada calon pelanggan.
“Contohnya cara kita mencari simpati kepada pelanggan, mencari pelanggan bagaimana, kata-kata apa yang dikeluarkan, cara menawarkan barang bagaimana. Cara itu saya jalani, dampaknya luar biasa,” kata Jumardi yang sempat menjalani hukuman selama tiga tahun penjara atas keterlibatannya sebagai penyuplai logistik bagi kelompok teroris MIT pada tahun 2015.
Jumardi rata-rata setiap hari bisa memperoleh pendapatan hingga Rp250.000 hingga Rp300.000.
Stigma Hambat Reintegrasi
Peneliti THC, Johari Efendi mengungkapkan program ProPosoku berupaya membangun kepercayaan diri mantan napiter dengan melatih kemampuan berkomunikasi yang positif kepada orang lain. Hal ini untuk menciptakan kesan yang baik disaat masih ada stigma negatif bahwa mantan napiter sebagai orang perlu diwaspadai sehingga menyulitkan upaya reintegrasi (penyatuan kembali -red) ke tengah masyarakat.
“Tantangannya adalah mereka kurang soft skill misalnya bagaimana mereka bisa berkomunikasi secara positif dan hal-hal aspek psikologi sosial yang mereka butuhkan untuk berkomunikasi, berinteraksi dengan masyarakat, ini yang kurang. Ini yang kelihatannya harus banyak didorong,” jelas Johari.
Berdasarkan penilaian lapangan yang dilakukan oleh tim THC dan LPMS pada tahun 2021 terdapat lebih dari 50 orang yang terkait dengan aksi terorisme di Poso yang telah dibebaskan dari penjara. Mantan narapidana terorisme tersebut telah melewati masa deradikalisasi dan sedang menjalani tahap reintegrasi dengan masyarakat. [yl/rs]
Forum