Isu Iklim
Menkeu AS: Dibutuhkan $3 Triliun per Tahun untuk Pembiayaan Iklim
Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengungkapkan pada Sabtu (28/7) bahwa transisi global menuju ekonomi rendah karbon membutuhkan investasi tambahan sebesar $3 triliun per tahun hingga 2050. Jumlah ini jauh di atas tingkat pembiayaan saat ini. Meskipun demikian, upaya untuk mengatasi kesenjangan ini bisa menjadi peluang ekonomi terbesar abad ke-21.
Berbicara di Belem, kota gerbang Amazon di Brazil, Yellen menyatakan bahwa mencapai tujuan emisi nol bersih tetap menjadi prioritas utama pemerintahan Biden-Harris. Namun ia menekankan bahwa upaya tersebut membutuhkan kepemimpinan yang jauh melampaui batas-batas AS.
"Mengabaikan penanganan perubahan iklim dan hilangnya alam serta keanekaragaman hayati bukan hanya kebijakan lingkungan yang buruk. Ini adalah kebijakan ekonomi yang buruk," kata Yellen dalam pidatonya setelah menghadiri pertemuan para pemimpin keuangan G20 pada Kamis dan Jumat di Rio de Janeiro.
Pada 2022, sejumlah negara maju menggenlontorkan dan memobilisasi dana iklim sebesar $116 miliar bagi negara-negara berkembang, 40 persen di antaranya berasal dari bank pembangunan multilateral (MDB). Yellen mengungkapkan bahwa bank-bank seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Inter-Amerika (IDB) kini telah menetapkan target baru.
Menurut Yellen, kebutuhan pendanaan tersebut merupakan "peluang ekonomi terbesar di abad ke-21" dan dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan lebih inklusif, termasuk bagi negara-negara yang kekurangan investasi.
Saat berada di Belem, Yellen bertemu dengan menteri keuangan dari negara-negara di lembah Amazon dan Presiden IDB Ilan Goldfajn. Ia menegaskan kembali komitmen AS terhadap platform ‘Amazonia Forever’ milik bank tersebut, yang menawarkan pendekatan holistik untuk pembangunan berkelanjutan di kawasan tersebut melalui pendanaan, persiapan proyek, dan kolaborasi.
"Kami berharap program ini akan memberikan insentif bagi investasi sektor swasta yang lebih besar di kawasan yang mendukung alam," tambahnya.
Hampir dua tahun lalu, Yellen mengimbau MDB untuk memperluas misi dan kapasitas pinjaman mereka guna memasukkan upaya penanggulangan perubahan iklim. Ia menegaskan bahwa hal ini kini telah menjadi bagian dari inti mereka. Namun, investasi swasta dalam jumlah besar tetap diperlukan. Departemen Keuangan AS, Kementerian Keuangan Brazil, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya sedang berusaha meningkatkan keterlibatan dengan sektor swasta.
Yellen mengatakan bahwa bank-bank harus mengembangkan model bisnis baru untuk memobilisasi investasi yang mendukung pelestarian alam dan keanekaragaman hayati. Hal ini dilakukan sambil memperkuat ekonomi dan memajukan transisi iklim.
Pada Sabtu (27/7), Yellen memperkenalkan inisiatif baru bersama negara-negara di kawasan lembah Amazon, yakni Brazil, Kolombia, Ekuador, Guyana, Peru, dan Suriname. Inisiatif tersebut bertujuan memerangi kejahatan lingkungan, seperti penebangan liar serta pemanenan satwa liar dan mineral, yang mengancam keanekaragaman hayati dan ekosistem Amazon. [ah/ft]
See all News Updates of the Day
Greenland Berupaya Kembangkan 'Pariwisata Pamungkas'
Terkenal akan padang beku yang luas dengan pemandangan yang luar biasa, Greenland tengah berupaya menarik lebih banyak turis, namun lokasinya yang terpencil dan kondisi lingkungannya yang rentan, yang membuatnya menjadi destinasi wisata unik, menciptakan sejumlah tantangan.
"Dampak dari pemanasan global paling terasa di wilayah Arktika," ungkap Michael Hall, profesor dari University of Canterbury dan ahli pariwisata, kepada AFP.
Pemanasan global mempercepat "hilangnya es laut Arktika di musim panas, (serta) mencairnya permafrost, rak es, dan gletser," ujar Hall, mengacu kepada elemen-elemen yang berkontribusi pada keunikan Greenland.
Di seluruh wilayah Greenland, para warga lokal menyaksikan langsung dampak dari pemanasan global.
Di Maniitsoq yang terletak di pesisir barat daya pulau tersebut, lautan esnya tak bisa dijelajahi sejak 2018 karena sudah tidak cukup solid. Warga juga telah menyaksikan penyusutan lautan es dari tahun ke tahun, selain semakin berkurangnya jumlah salju yang turun.
Namun, para wisatawan tetap saja tercengang dengan pemandangan yang tersaji di Greenland.
"Ini adalah tanah yang tak dikenal," ujar Amy Yankovic, turis berusia 55 tahun asal Amerika Serikat.
Yankovic, yang merupakan warga asli Texas, menempuh waktu hampir 24 jam untuk mencapai Greenland dengan menaiki tiga penerbangan lanjutan.
Pariwisata menyumbang sekitar delapan persen dari emisi gas rumah kaca global, menurut PBB, yang sebagian besar disebabkan oleh transportasi.
Terdapat "semacam 'pariwisata pamungkas', di mana mengunjungi lokasi-lokasi yang terancam punah ini menjadi semacam keinginan untuk melihatnya sebelum benar-benar hilang," ujar Emmanuel Salim, seorang dosen geografi di University of Toulouse di Prancis.
Ia mengatakan destinasi serupa seperti di Churchill di Kanada, yang dikenal sebagai "ibu kota beruang kutub di dunia", "telah mencoba menempatkan destinasi mereka sebagai tempat untuk 'mempelajari' tentang lingkungan."
Tetapi, walaupun destinasi-destinasi seperti itu dapat meningkatkan kesadaran akan praktik kepedulian lingkungan yang lebih baik, jejak karbon yang dihasilkan tetaplah tinggi, tambah Salim.
Membangun pariwisata di lokasi yang rentan memerlukan tindakan penyeimbang yang rumit.
"Mitigasi dari dampak pemanasan global pada wilayah Arktika merupakan tanggung jawab global," ujar Hall, seraya menambahkan bahwa "upaya mitigasi saat ini belumlah mencukupi."
Pihak berwenang Greenland menekankan mereka menginginkan pembangunan pariwisata yang hati-hati, agar dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
"Dalam beberapa tahun terakhir kami telah melihat anak muda menjadi operator pariwisata," kata Wali Kota Maniitsoq Gideon Lyberth kepada AFP.
"Kami sangat, sangat senang, karena anak muda telah pergi meninggalkan kota ini dan memilih Nuuk, dan hidup di sana, namun kini mereka telah kembali," tambahnya.
"Jelas bahwa perkembangan ini merupakan ide yang bagus, setidaknya untuk jangka pendek," pungkas Hall. [rs]
Polusi Udara di Lahore Capai Titik Terburuk dalam Sejarah
Tingkat polusi udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di kota terbesar kedua di Pakistan, Lahore, mendorong pihak berwenang untuk mengambil tindakan darurat pada hari Minggu (3/11), termasuk mengeluarkan perintah bekerja dari rumah dan menutup sekolah-sekolah dasar.
Kota itu menduduki posisi teratas dalam daftar terkini kota paling tercemar di dunia pada hari Minggu setelah mencatat angka polusi tertinggi sepanjang masa yakni 1900 di dekat perbatasan Pakistan-India pada hari Sabtu (2/11), berdasarkan data yang dirilis oleh pemerintah provinsi dan grup Swiss IQAir.
Pemerintah telah menutup sekolah dasar selama seminggu, dan menghimbau orang tua untuk memastikan anak-anak mengenakan masker, tutur Menteri Senior Punjab Marriyum Aurangzeb selama konferensi pers, saat kabut asap tebal menyelimuti kota tersebut.
Warga diimbau untuk tetap berada di dalam rumah, menutup pintu dan jendela, serta menghindari perjalanan yang tidak perlu, katanya, seraya menambahkan bahwa rumah sakit telah dilengkapi dengan alat pengukur asap.
Untuk mengurangi polusi kendaraan, 50% karyawan kantor akan bekerja dari rumah, kata Aurangzeb.
Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penggunaan kendaraan roda tiga dan menghentikan pembangunan di beberapa wilayah untuk mengurangi tingkat polusi. Pabrik dan lokasi konstruksi yang tidak mematuhi peraturan ini dapat ditutup, katanya.
Aurangzeb menggambarkan situasi tersebut sebagai "tidak terduga" dan menghubungkan memburuknya kualitas udara dengan angin yang membawa polusi dari negara tetangga Pakistan, yakni India.
"Hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa perundingan dengan India," katanya, seraya menambahkan pemerintah provinsi akan memulai perundingan dengan negara tetangganya yang lebih besar melalui kementerian luar negeri Pakistan.
Krisis kabut asap di Lahore, mirip dengan situasi yang terjadi di ibu kota India, New Delhi, yang cenderung memburuk selama bulan-bulan yang lebih dingin karena inversi suhu yang menjebak polusi lebih dekat ke permukaan tanah. [rz/rs]
- Associated Press
Kabut Asap Beracun Selimuti New Delhi, Sehari Usai Festival Diwali
Lapisan tebal kabut asap beracun yang berasal dari petasan yang dinyalakan untuk merayakan festival cahaya umat Hindu, Diwali, menyelimuti ibu kota India pada Jumat (1/11) dan mendorong polusi udara ke tingkat yang berbahaya.
Indeks kualitas udara New Delhi menyentuh kategori "parah", menurut SAFAR, badan pemantau lingkungan utama India. Di banyak daerah, tingkat partikel yang mematikan mencapai tujuh kali batas aman Organisasi Kesehatan Dunia.
Pihak berwenang di ibu kota India tersebut, telah melarang penggunaan dan penjualan petasan tradisional sejak 2017, dan meminta orang-orang untuk memilih yang ramah lingkungan atau pertunjukan cahaya sebagai gantinya. Namun, aturan tersebut sering dilanggar.
New Delhi, yang dihuni lebih dari 33 juta penduduk, seringkali menempati peringkat teratas sebagai salah satu kota paling tercemar di dunia.
Krisis polusi udara makin parah terutama di musim dingin, ketika pembakaran sisa tanaman di negara bagian tetangga bertepatan dengan suhu yang lebih dingin yang menjebak asap yang mematikan. Asap tersebut sampai ke New Delhi, menyebabkan lonjakan polusi dan memperburuk krisis kesehatan masyarakat.
Emisi dari industri tanpa pengendalian polusi dan penggunaan batu bara, yang menghasilkan sebagian besar listrik negara itu, terkait dengan buruknya kualitas udara di daerah perkotaan.
"Kita mungkin tidak menyadarinya sekarang, tetapi nanti kita akan menghadapi masalah paru-paru," kata Manoj Kumar, warga New Delhi saat lari pagi di sekitar monumen Gerbang India yang ikonik di ibu kota.
Beberapa penelitian memperkirakan lebih dari satu juta orang India meninggal setiap tahun akibat penyakit yang berhubungan dengan polusi udara. Partikel kecil di udara yang tercemar dapat bersarang jauh di dalam paru-paru dan menyebabkan berbagai masalah utama kesehatan. [es/ft]
China, Pahlawan atau Penjahat dalam Perang Melawan Iklim?
China merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, tetapi juga membangun kapasitas energi angin dan surya terbesar.
China adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang menyebabkan pemanasan global — tetapi negara itu juga merupakan pemimpin global dalam mengembangkan sumber-sumber yang disebut teknologi hijau, seperti tenaga surya dan angin. Jadi, apakah China merupakan masalah atau solusi dalam perang melawan perubahan iklim?
Menjelang konferensi iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, posisi China yang tampaknya kontradiktif dalam perang melawan perubahan iklim mulai terlihat.
Lebih dari 80 persen energi China diproduksi menggunakan bahan bakar fosil, dengan ketergantungan yang besar pada batu bara. Produksi batu bara negara itu memecahkan rekor tahun lalu, dan lebih banyak pembangkit listrik tenaga batu bara sedang dibangun.
Meskipun demikian, emisi karbon China kemungkinan akan mencapai puncaknya pada 2025, lima tahun lebih cepat dari target awal 2030, menurut proyeksi Yiyun Cui, profesor riset asosiasi dan penjabat direktur Pusat Keberlanjutan Global di Universitas Maryland.
“Hal ini terutama didorong oleh perkembangan teknologi hijau yang sangat cepat, khususnya tenaga surya dan angin. Kami melihat penyebaran kendaraan listrik sangat cepat. [Hal ini] juga didorong oleh menurunnya permintaan untuk banyak produk yang membutuhkan banyak energi seperti bahan konstruksi karena perlambatan ekonomi dan restrukturisasi,” kata Cui.
Laporan terbaru dari Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, sebuah organisasi penelitian dan kebijakan yang berbasis di Finlandia, menunjukkan bahwa pada kuartal ketiga tahun ini, emisi batu bara China meningkat. Namun peningkatan tersebut diimbangi oleh pengurangan emisi yang disebabkan oleh produksi baja, semen, dan minyak, akibat melambatnya ekonomi China.
Sementara itu, China adalah pemimpin global dalam membangun kapasitas energi terbarukan. Jumlah energi yang dipasok oleh pembangkit listrik tenaga angin dan surya yang dibangunnya, ketika mulai beroperasi, diperkirakan akan menjadi dua kali lipat dari gabungan seluruh dunia, cukup untuk memberi daya pada seluruh Korea Selatan.
Selama beberapa tahun terakhir, Beijing telah mendorong serangkaian kebijakan nasional, termasuk mengalokasikan lahan untuk membangun pembangkit listrik tenaga angin dan meningkatkan penggunaan panel surya atap. Lauri Myllyvirta, peneliti senior di Asia Society Policy Institute, kepada VOA News mengatakan kebijakan ini telah merangsang ekonomi hijau China dan merupakan kepentingan Beijing untuk mengekspor teknologi hijau.
“Ada banyak antusiasme dari pemerintah daerah, bank-bank negara, investor swasta untuk proyek-proyek tenaga surya dan angin, karena proyek-proyek tersebut menguntungkan terutama setelah kontraksi pasar real estat. Semua pemain ini mencari target baru untuk investasi dan sumber pertumbuhan,” kata Myllyvirta.
Industri tenaga surya China, misalnya, mengalami kelebihan pasokan, yang mengancam akan membuat harga peralatan tetap rendah selama bertahun-tahun mendatang.
Ketika negara-negara seperti Amerika Serikat memperingatkan adanya ancaman terhadap produksi lokal, Cui mengatakan hal itu membebankan biaya untuk transisi energi global, terutama bagi negara-negara di belahan bumi selatan.
Negara-negara akan mengajukan rencana iklim baru awal tahun depan untuk mencapai Tujuan Perjanjian Paris yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global.
Sebagai penghasil emisi terbesar di dunia, komitmen China diharapkan menjadi "sangat penting bagi upaya iklim global," kata Myllyvirta.
COP29 akan berlangsung dari 11 November hingga 22 November di Azerbaijan. [es/ft]
- Associated Press
Laporan PBB Peringatkan Kemungkinan Terjadinya Kelaparan yang Diperburuk oleh Konflik dan Guncangan Iklim
Krisis pangan yang parah mengancam ratusan ribu orang di daerah-daerah rentan, termasuk wilayah-wilayah Palestina, Sudan, Sudan Selatan, Haiti, dan Mali, di mana penduduknya menghadapi atau hampir mengalami kelaparan, kata sebuah laporan dari badan-badan pangan PBB yang dirilis pada hari Kamis (31/10).
Konflik, ketidakstabilan ekonomi, dan guncangan iklim – ditambah dengan berkurangnya dana untuk bantuan darurat pangan dan pertanian – mendorong tingkat kerawanan pangan akut yang mengkhawatirkan, kata laporan tersebut.
Masih menurut laporan itu, “intervensi yang lebih luas dan segera diperlukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut di wilayah-wilayah yang sudah rentan ini.”
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan, kerawanan pangan akut diperkirakan akan memburuk di 16 “titik panas kelaparan” selama enam bulan ke depan di 14 negara dan dua wilayah.
Rein Paulsen, Direktur Keadaan Darurat dan Ketahanan FAO, mengungkapkan, “Kami telah mengelompokkan titik-titik rawan kelaparan ke dalam tiga kategori, dengan tiga tingkat kekhawatiran yang berbeda. Dari 16 titik rawan kelaparan, lima di antaranya tergolong dalam tingkat kekhawatiran tertinggi. Lima yang dimaksud adalah Sudan, Palestina, Sudan Selatan, Haiti, dan Mali.”
Chad, Lebanon, Myanmar, Mozambik, Nigeria, Republik Arab Suriah dan Yaman diklasifikasikan sebagai “titik panas yang sangat memprihatinkan,” di mana banyak orang menghadapi atau diperkirakan akan menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang kritis.
“Konflik dan kekerasan bersenjata terus menjadi penyebab utama kelaparan di berbagai titik rawan, mengganggu sistem pangan, membuat penduduk terpaksa mengungsi, dan menghambat akses kemanusiaan,” ungkap laporan tersebut.
Pakar-pakar FAO dan WFP percaya bahwa konflik di Sudan kemungkinan akan meluas, “mendorong pengungsian massal, mengakibatkan kelaparan terus berlanjut, dan membuat jumlah orang yang berada dalam kondisi bencana meningkat.”
Hal ini akan semakin memperburuk krisis kemanusiaan regional, yang mengakibatkan peningkatan pergerakan lintas batas ke negara-negara tetangga, terutama Chad, Sudan Selatan, Mesir, Libya, Ethiopia dan Republik Afrika Tengah.
Badan-badan PBB itu juga menekankan bahwa konflik yang sedang berlangsung di wilayah-wilayah Palestina telah mendorong “kebutuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan perpindahan penduduk yang hampir semuanya dan peningkatan risiko dampak regional.” [ab/lt]
Forum