Kebuntuan antara pemerintah pusat Libya dan milisi yang menguasai ladang-ladang minyak terancam meningkat menjadi konflik, setelah pemberontak mengatakan mereka akan menjual minyak langsung ke pasar dunia meskipun ada larangan pemerintah.
Milisi di Libya timur dan selatan menuntut otonomi, mengancam kestabilan Libya setelah tergulingnya Muammar Gaddafi tahun 2011.
Antrian panjang mobil-mobil menunggu bensin tampak di jalan-jalan Tripoli. Libya mungkin termasuk diantara negara yang punya cadangan minyak terbesar di dunia tapi rakyatnya harus menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk membeli bensin.
Fatima, penduduk Tripoli mengatakan ia sudah menunggu berhari-hari. Katanya di Libya orang tidak akan bisa hidup, karena situasi memburuk setiap hari.
Milisi di Libya timur memblokade pelabuhan-pelabuhan dan penyulingan minyak, menyulitkan negara itu mengekspor minyak, satu-satunya sumber utama keuangannya. Produksi minyak kurang dari 20 persen produksi sebelum revolusi yaitu 1,6 juta barel per hari.
Ibrahim al-Jathran memimpin milisi yang bermarkas di Benghazi yang memimpin blokade minyak itu. Ia mengatakan mereka menghentikan pengiriman minyak karena hasil penjualan minyak digunakan untuk menekan serta mengancam warga Libya.
Milisi Jathran telah mengumumkan pemerintah otonominya di Libya timur dan berusaha menjual minyak langsung ke pasar dunia, meningkatkan resiko bentrok dengan angkatan laut Libya. Perdana Menteri Ali Zeidan menolak memberi otonomi apapun kepada milisi. Tapi ia hanya punya sedikit pilihan kata John Hamilton, analis kelompok Cross-Border Information.
"Tidak ada kemungkinan pemerintah mengambil tindakan militer terhadap milisi. Itu akan menjadi sebuah bencana. Pemerintah berusaha menyogok dan membujuk milisi. Pemerintah tidak bisa memenuhi tuntutan politik mereka sehingga terjadi kebuntuan," kata Hamilton.
Ketiadaan hukum itu telah menjadikan bagian-bagian Libya menjadi tempat yang nyaman bagi militan, kata Professor Fawaz Gerges dari London School of Economics.
"Libya kini muncul sebagai sebuah markas utama, arus pejuang dan senjata ke Afrika barat, ke Afrika utara bahkan ke Suriah," kata Fawaz.
Menyatukan faksi-faksi Libya dan milisi yang bersenjata berat di bawah satu bendera terus menjadi tantangan besar dan para analis mengatakan kegagalan akan berdampak pada seluruh kawasan.
Milisi di Libya timur dan selatan menuntut otonomi, mengancam kestabilan Libya setelah tergulingnya Muammar Gaddafi tahun 2011.
Antrian panjang mobil-mobil menunggu bensin tampak di jalan-jalan Tripoli. Libya mungkin termasuk diantara negara yang punya cadangan minyak terbesar di dunia tapi rakyatnya harus menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk membeli bensin.
Fatima, penduduk Tripoli mengatakan ia sudah menunggu berhari-hari. Katanya di Libya orang tidak akan bisa hidup, karena situasi memburuk setiap hari.
Milisi di Libya timur memblokade pelabuhan-pelabuhan dan penyulingan minyak, menyulitkan negara itu mengekspor minyak, satu-satunya sumber utama keuangannya. Produksi minyak kurang dari 20 persen produksi sebelum revolusi yaitu 1,6 juta barel per hari.
Ibrahim al-Jathran memimpin milisi yang bermarkas di Benghazi yang memimpin blokade minyak itu. Ia mengatakan mereka menghentikan pengiriman minyak karena hasil penjualan minyak digunakan untuk menekan serta mengancam warga Libya.
Milisi Jathran telah mengumumkan pemerintah otonominya di Libya timur dan berusaha menjual minyak langsung ke pasar dunia, meningkatkan resiko bentrok dengan angkatan laut Libya. Perdana Menteri Ali Zeidan menolak memberi otonomi apapun kepada milisi. Tapi ia hanya punya sedikit pilihan kata John Hamilton, analis kelompok Cross-Border Information.
"Tidak ada kemungkinan pemerintah mengambil tindakan militer terhadap milisi. Itu akan menjadi sebuah bencana. Pemerintah berusaha menyogok dan membujuk milisi. Pemerintah tidak bisa memenuhi tuntutan politik mereka sehingga terjadi kebuntuan," kata Hamilton.
Ketiadaan hukum itu telah menjadikan bagian-bagian Libya menjadi tempat yang nyaman bagi militan, kata Professor Fawaz Gerges dari London School of Economics.
"Libya kini muncul sebagai sebuah markas utama, arus pejuang dan senjata ke Afrika barat, ke Afrika utara bahkan ke Suriah," kata Fawaz.
Menyatukan faksi-faksi Libya dan milisi yang bersenjata berat di bawah satu bendera terus menjadi tantangan besar dan para analis mengatakan kegagalan akan berdampak pada seluruh kawasan.