Mundurnya diktator Soeharto memaksa Tentara Nasional Indonesia (TNI) keluar dari politik dan kembali ke barak. Dan kini, hampir setelah dua dasawarsa, TNI secara perlahan kembali melakukan peran-peran sipil. Hal ini berisiko menyebabkan kemunduran demokrasi di Indonesia dan bahkan di Asia.
Negara kepulauan Indonesia adalah salah satu demokrasi terbesar dan termuda di dunia. Rakyat Indonesia menyambut gembira mundurnya TNI dari politik setelah gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa berhasil mengakhiri era Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
Namun bertahun-tahun kemudian, menurut para pengamat dan mantan jenderal, tidak semua perwira dan prajurit TNI menerima dengan lapang dada bahwa TNI hanya berperan dalam bidang pertahanan nasional tanpa melakukan peran sipil.
Kini, ketikaPresiden Jokowi mengandalkan dukungan TNI menghadapi tekanan polisi dan partai-partai politik yang bersekutu dengan mantan Presiden Megawati, TNI kembali merangkak memasuki bidang-bidang di luar pertahanan.
TNI telah menandatangani sejumlah perjanjian dengan beberapa kementerian dan perusahaan negara untuk, misalnya menyediakan keamanan di bandar-bandar udara, stasiun bus dan kereta api, serta membantu petani meningkatkanhasil panen.
Beberapa pejabat telah menyerukan keterlibatan militer dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melawan upaya polisi dan sekutu-sekutu politiknya untuk melumpuhkan lembaga ditakuti itu.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini mencalonkan seorang jenderal angkatan darat untuk menjadi panglima TNI, mematahkan konvensi reformasi untuk menggilir pos itu antara angkatan laut, angkatan udara dan angkatan darat.
“Saya kira jelas bahwa langkah itu dipandang sebagai langkah untuk menarik angkatan darat ke pihaknya, mengingat Presiden menghadapi begitu banyak kesulitan dari kawan maupun lawan,” ujar Vedi Hadiz, ilmuwan politik Indonesia dari Murdoch University di Perth, Australia. "Hanya angkatan darat yang dapat membuat polisi takut.”
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara. Ketangguhan demokrasi Indonesia sangatlah penting, terutama dewasa ini ketika China menantang dominasi Amerika di kawasan ini dan hubungan Amerika dengan Thailand, sekutu utamanya di wilayah ini, mendingin.
Kawasan berpenduduk sekitar 600 juta ini terbiasa dengan penguasa yang otoriter. Karena itu Indonesia bukan satu-satunya negara di ASEAN yang berjuang mempertahankan semangat demokrasi seraya berupaya memenuhi harapan masyarakat akan membaiknya standar hidup mereka.
Tahun lalu, di Thailand para jenderal menggulingkan pemerintahan sipil ketika kondisi politik di negara tersebut tidak kunjung stabil dan pemerintah tidak memiliki jadwal pemilu yang pasti. Di Myanmar, peranan militer masih kukuh tertancap dalam demokrasi Myanmar yang masih bayi. Sementara di Malaysia, kelompok oposisi kian melemah, membuat makin kecilnya peluang bergantinya pemerintahan setelah puluhan tahun Malaysia hanya dikuasai oleh satu partai yang sama, yaitu Partai UMNO.
Terlibatnya TNI dalam politik berisiko “menyebabkan gagalnya proses transisi menuju demokrasi di Indonesia,” ujar Agus Widjojo, purnawirawan jenderal angkatan darat yang membantu memimpin reformasi militer.
“Jika ini merupakan kontra-reaksi, tentu akan menimbulkan gejolak. Apalagi jika dimulai dari militer, hal ini akan menimbulkan gejolak,” katanya.
Agus melihat kelemahan di dua sisi: Presiden Jokowi yang kurang percaya diri tanpa kehadiran angkatan darat di pihaknya, dan militer yang banyak anggotanya masih “bernostalgia dengan peran yang besar” di masa lalu.
Presiden Jokowi membuat kehebohan awal bulan ini ketika dipotret di Istana Negara mengenakan seragam angkatan darat, bukannya seragam militer netral yang menunjukkannya sebagai panglima tertinggi seluruh militer. Ia mengatakan nominasinya atas Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai panglima TNI didasarkan pada “situasi geopolitis dan geostrategis terkini.”
Meski di masa lalu reputasinya tercela, namun sejak mundurnya Soeharto citra TNI telah membaik. Menurut Institut Analisis Kebijakan Konflik di Jakarta, TNI diuntungkan dari perbandingan dengan citra polisi yang memburuk tahun ini akibat serangannya terhadap KPK.
Hal tersebut memungkinkan TNI menggambarkan dirinya sebagai jujur, bersudut pandang sipil dan loyal kepada Presiden. Dipisahkan dari TNI sejak era Soeharto, kepolisian kini berkembang menjadi institusi kuat dan sekaligus paling dibenci karena gaji yang rendah mendorong korupsi dan kurangnya profesionalisme memperburuk konflik-konflikdi masyarakat.
“Tidak ragu lagi, angkatan darat jelas bergerak menuju ranah-ranah sipil,” kata Sidney Jones, direktur lembaga tersebut. Namun dia tidak yakin TNI berniat kembali ke pusat panggung politik. Menurut dia TNI hanyaingin memainkan kembali peranannya dalam bidang keamanan dalam negeri, misalnya mengambil peran anti-terorisme dari polisi. Dengan demikian TNI bisa berpeluangmendapat dana di luar anggaran nasional.
Persaingan merebut sumber-sumber uangmeluas ke tingkat lokal di mana oknum militer dan polisi bersaing untuk bersekongkoldengan kelompok-kelompok kriminal dalam perdagangan narkoba dan aktivitas-aktivitas ilegal lainnya, menurut Vedi. Penunjukan Gatot oleh Presiden untuk menjadi panglima menunjukkan dukungan diam-diam terhadap angkatan darat dalam persaingan tersebut, ujarnya.
Menurut Vedi, meningkatnya peran dan wewenang angkatan darat, khususnya dalam kebijakan anti-korupsi, tentu akan mendapat perlawanan dari kelompok aktivis dan politisi yang diuntungkan oleh berkembangnya demokrasi di Indonesia.
“Namun, tampaknya politisi-politisi ini secara insting juga akan mendekati militer ketika mereka dalam kesulitan,” ujarnya.