Pemimpin Libya Moammar Gaddafi bersumpah tidak meninggalkan negaranya dan bersedia mati “syahid” sementara demonstrasi anti-pemerintah berkecamuk di Libya. Gaddafi berpidato dengan penuh emosi melalui televisi pemerintah hari Selasa, dengan mengatakan ia adalah “seorang revolusioner”.
Ia juga mendesak rakyat Libya ikut membela negara itu terhadap mereka yang menggerakkan pergolakan itu, orang yang disebutnya sebagai “gerombolan” atau “teroris”. Pemimpin Libya ini mengatakan ia berbicara dari salah satu rumah yang di bom Amerika dan Inggris tahun 1986.
Gaddafi kini kehilangan dukungan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahannya selagi sejumlah pejabat Libya di dalam dan di luar negeri mengundurkan diri atau membelot sebagai tanggapan atas penumpasan mematikan oleh Gaddafi atas demonstrasi di Libya yang menuntut penyingkirannya.
Semua demonstrasi itu mencerminkan tantangan terbesar bagi kekuasaan Gaddafi sejak ia mengambil alih kekuasaan tahun 1969.
Para saksi mata di Tripoli mengatakan helikopter dan pesawat tempur menghantam daerah-daerah sipil hari Senin sementara tentara sewaan asal Afrika dan orang-orang bersenjata yang pro-Gaddafi melepaskan tembakan membabi buta untuk meneror penduduk.
Televisi pemerintah Libya pada hari Selasa mengatakan laporan-laporan media asing mengenai pembantaian di negara itu adalah “dusta” yang bertujuan untuk menghancurkan semangat juang publik.
Para diplomat Libya di beberapa negara mengatakan mereka telah memutuskan hubungan dengan Gaddafi untuk memprotes serangan pasukan Gadhafi terhadap para demonstran.
Duta Besar Libya untuk Amerika Ali Aujali menghimbau agar pemimpin Libya itu supaya mundur. Beberapa duta besar Libya lainnya mengatakan mereka mengundurkan diri termasuk dua duta besar untuk India , Indonesia dan diplomat senior di Tiongkok.
Kedutaan Libya di Malaysia dan Australia mengatakan mereka tidak lagi mewakili Gaddafi. Menteri Kehakiman Mustafa Abdel-Jalil mengundurkan diri hari Senin untuk memprotes penumpasan itu, sementara dua pilot pesawat tempur Libya mengalihkan jet mereka ke Malta, mengatakan mereka membelot setelah diperintahkan untuk menyerang para demonstran.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton mengutuk kekerasan di Libya dengan menyebutnya “pertumpahan darah yang tidak bisa diterima”. Hari Selasa di Washington, Clinton mengatakan Amerika menyaksikan perkembangan di Libya dengan “keprihatinan mendalam”.
Clinton mengatakan, pemerintah Libya bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan harus mengambil tindakan untuk mengakhiri kekerasan itu dan menghormati hak-hal universal semua warganya.
Ia juga berbicara mengenai Timur Tengah secara lebih luas, di mana warga di sejumlah negara telah melancarkan demonstrasi besar-besaran menentang pemerintah mereka. Ia menganjurkan semua pemerintahan di kawasan itu supaya bersikap menahan diri.