Bagi Aser Koyamee Gobai, mogok bekerja adalah hak pekerja. Sementara bagi Freeport, pemogokan berbulan-bulan ini jelas mengganggu proses penambangan. Aser Koyamee, Ketua Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan di Mimika, Papua, kini memimpin sekitar 8.100 pekerja Freeport yang mogok kerja sejak bulan Mei lalu. Kepada VOA, Aser Koyamee mengatakan aksi mogok akan dilanjutkan setidaknya dalam satu bulan ke depan. Mereka menganggap Freeport tidak beritikad baik menyelesaikan akar persoalan ini.
“Kebijakan transisi, kemudian PHK dan furlough (merumahkan pekerja sementara) apakah itu dijalankan sesuai aturan atau tidak? Mulainya kan dari situ. Kita sudah jalani mogok yang sah sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga Freeport tidak bisa sewenang-wenang melakukan dan mengumumkan bahwa mereka sudah melakukan ini dan itu. Ini kan keputusan sepihak. Kapan mereka membuka diri, membahas dan membicarakan hal ini dengan serikat pekerja?” ujar Aser Koyamee Gobai.
Menurut Aser Koyamee, sekitar 20.000 orang terdampak aksi mogok ini, yaitu pekerja dan para keluarga mereka. Banyak pihak sudah mencoba membantu menyelesaikan kebuntuan pembicaraan, namun belum ada titik terang.
Dalam pertemuan tanggal 10 Juli 2017 di kantor DPR Papua, di Jayapura, hadir seluruh pihak yang terkait, antara lain DPR Papua, pemerintah provinsi dan kabupaten, manajemen Freeport, kontraktor dan perwakilan serikat pekerja.
Hasilnya, pekerja diminta kembali duduk bersama Freeport untuk mencari jalan keluar. Bagi Aser Koyamee yang mengikuti pertemuan itu, tidak ada langkah maju yang berarti untuk kedua belah pihak.
Yunus Wonda, ketua DPR Papua kepada media di Jayapura menyatakan, kesimpulan pertemuan itu adalah mengembalikan persoalan kepada manajemen. Freeport diminta untuk mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan kondisi nyata di Timika, karena pemogokan ini berdampak buruk bagi kehidupan keluarga para pekerja.
“Kami memberikan kesempatan kepada pihak manajemen dan serikat untuk duduk bersama-sama membicarakan permasalahan, salah satunya ialah poin ketiga. Pembahasan poin ketiga ini dilakukan selama dua minggu. Pertemuan itu harus difasilitasi oleh Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Mimika. Sementara kami, berserta anggota DPR Papua akan mengawasi selama kedua belah pihak bertemu,” kata Yunus seperti dikutip media-media di Papua.
Poin ketiga yang dimaksud Yunus adalah kesepakatan bahwa Freeport sudah bersedia mempekerjakan kembali pekerja yang sudah di PHK. Syaratnya, Freeport akan melakukan itu sesuai dengan aturan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan proses Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Di sisi lain, serikat pekerja menginginkan tidak ada sanksi apapun terhadap pekerja.
Waktu dua minggu yang ditetapkan oleh DPR Papua itu jatuh pada Senin, 24 Juli 2017. Namun, menurut Aser Koyamee yang dihubungi VOA pada Selasa pagi, belum ada pembicaraan lanjutan antara serikat pekerja dan Freeport.
Sekretaris Dewan Adat Papua, John NR Gobay sudah mendesak kedua belah pihak untuk melunak. Baik Freeport maupun pekerja tidak bisa bersikukuh dengan tuntutan masing-masing. Pemogokan selama 3 bulan terakhir telah menjadi masalah kemanusiaan, terutama bagi anak-anak Papua sendiri.
“Pekerja yang demo juga tidak bisa memaksakan supaya harus diterima kembali semuanya. Ini kan ada aturannya, tidak bisa begitu, sehingga Freeport juga harus memilih. Mana yang bisa dipangil kembali untuk bekerja, dan tidak perlu lagi menambah pekerja baru. Kalau perlu menambah pekerja, ambil saja dari mereka yang melakukan aksi mogok ini. Dipilih mana yang bisa dipanggil, mana yang tidak bisa dipanggil karena alasan umur atau karena alasan kesepakatan kerja, sesuai aturan internal Freeport dan itu sudah sesuai UU ketenagakerjaan.”
John Gobay juga meminta Freeport untuk bisa menerima kembali pekerja yang mogok, dengan menjamin hak-hak mereka sebagai pekerja. Jika Freeport melakukan itu, John menyarankan serikat pekerja berbesar hati menerima dan mengakui sebagai niat baik perusahaan. Jika memang tidak ada jalan keluar, manurut tokoh adat Amungme ini, kedua pihak disarankan agar maju ke pengadilan untuk mencari kepastian hukum.
PHK terhadap pekerja terjadi karena Freeport tidak diizinkan untuk melakukan ekspor tambang sebelum membangun fasilitas pengolahan atau smelter di Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia juga meminta Freeport melakukan divestasi saham, jika menginginkan perpanjangan kontrak di tambang tembaga dan emas di Grasberg. Sampai saat ini, Freeport masih melakukan pembicaraan intensif dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sekjen Kementerian ini, Teguh Pamudji kepada media di Jakarta menyatakan keyakinannya, bahwa kesepakatan baru akan segera diperoleh dalam waktu dekat.
VOA sudah menghubungi juru bicara Freeport untuk meminta konfirmasi mengenal hal ini, namun tidak ada tanggapan sampai berita ini diturunkan. [ns/lt]