Myanmar menolak pernyataan-pernyataan tidak seimbang yang disampaikan beberapa pemenang Nobel Perdamaian, yang menyerukan diakhirinya penganiayaan terhadap warga Muslim-Rohingya.
Beberapa pemenang Nobel Perdamaian, termasuk tokoh Afrika Selatan Desmond Tutu, aktivis Iran Shirin Ebadi dan mantan presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta, menyampaikan seruan itu setelah konferensi dua hari di Oslo, Norwegia pekan lalu. Mereka menyebut situasi warga Muslim-Rohingya di Myanmar “tidak berbeda dengan genosida.”
Kementerian Luar Negeri Myanmar secara tertulis menyatakan komentar yang dipublikasikan di beberapa suratkabar hari Minggu (31/5) itu, menunjukkan bahwa para pemenang Nobel tersebut membutakan mata terhadap upaya Myanmar membangun kembali kepercayaan diantara warga Budha dan Muslim di bagian barat Rakhine, termasuk “menjamin pemberian kewarganegaraan lewat proses verifikasi nasional atas warga Bengalis yang telah tinggal di Myanmar selama puluhan tahun.”
Myanmar tidak mengakui warga Muslim-Rohingya sebagai komunitas etnis mereka dan merujuk pada lebih dari satu juta warga Muslim-Rohingya di negara bagian Rakhine sebagai Bengalis, julukan bagi imigran yang berasal dari Bangladesh. Myanmar menolak memberi status kewarganegaraan dan hak-hak dasar bagi warga Muslim-Rohingya. Bahkan lebih dari 100 ribu di antaranya dipenjara di beberapa kamp.
Beberapa pekan terakhir ini warga Muslim-Rohingya menjadi krisis di kawasan, setelah ribuan warga tiba di wilayah Indonesia, Malaysia dan Thailand, dan lainnya diperkirakan masih terjebak di tengah laut.
Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan pernyataan para pemenang Nobel itu merupakan hal yang “tidak seimbang dan negatif.”
Beberapa tokoh lain yang juga mengecam kebijakan Myanmar adalah filantropi George Soros, yang selamat dari pendudukan Nazi terhadap Hungaria, dan mengatakan ada “peringatan pararel” antara nasib buruk yang dialami warga Muslim-Rohingya dengan genosida Nazi dulu.