Tahun 2016 dinilai sebagai tahun yang merepresentasi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia. Bagaimana tidak? Seorang anak perempuan berusia 14 tahun di Rejang Lebong, Bengkulu, diperkosa beramai-ramai oleh 14 pemuda dan dibunuh sepulangnya dari sekolah Februari 2016 lalu. Selang tiga bulan kemudian, seorang gadis di Tangerang ditemukan tewas diperkosa dan dibunuh dengan sebatang cangkul yang ditancapkan ke kemaluannya. Di akhir tahun, satu kasus lain menghenyakkan masyarakat ketika seorang anak berusa empat tahun di Sorong, diperkosa dan dibunuh di lumpur.
Menurut Catatan Akhir Tahun Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kekerasan seksual sepanjang tahun 2016 lalu mencapai 3.495 kasus atau 34% dari total kasus yang dilaporkan dan ditangani, tetapi masih ada jenis kekerasan lain yang juga memprihatinkan yaitu kekerasan fisik (42%), kekerasan psikis (14%) dan kekerasan ekonomi (10%). Secara keseluruhan jumlah kekerasan yang dilaporkan dan ditangani Komnas Perempuan mencapai 259.150 kasus, dimana 245.548 kasus ditangani oleh pengadilan agama dan 13.602 kasus lainnya ditangani oleh 233 lembaga mitra yang tersebar di 34 propinsi.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Harus Segera Digolkan
Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah yang diwawancarai VOA melalui telepon mengatakan ini menunjukkan semakin mendesaknya penerapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Ini menunjukkan bahwa kekerasan di ranah domestik, komunitas dan negara masalah yang konstan. Yang menyedihkan ranah domestik di mana institusi keluarga yang seharusnya menjadi tempat perempuan bernaung dan berlindung, tetapi menjadi tempat terjadinya kekerasan. Belum lagi kekerasan dalam spektrum lain seperti perkosaan berkelompok atau gang-rape dan penganiayaan seksual disertai pembunuhan karena korban adalah perempuan atau femicide dengan pola yang sangat sadis. Penyebabnya mungkin dinilai sepele, yaitu karena dikecewakan pacar, atau maskulinitasnya terusik, tetapi pola pembunuhannya sangat sadis dan bahkan belum pernah terjadi sebelumnya. Ini menunjukkan semakin pentingnya mewujudkan tercapainya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena kekerasan terjadi di berbagai ranah dan spektrum berbeda," jelas Yuni.
Hal senada disampaikan anggota Ombudsman Ninik Rahayu. Bahkan beberapa undang-undang yang sudah diberlakukan pun masih belum melindungi perempuan secara substatif.
"Masih ada distorsi ketika memperjuangkan hak-hak hukum. Misalnya UU PPTKILN (Undang-Undang Perlindungan TKI di Luar Negeri) yang hanya mengatur soal ketenagakerjaan dan masih rentan diskriminasi gender. Dari sisi UU masih ada yang secara proses dan subtansi tidak memberikan perlindungan pada perempuan. Demikian juga dalam konteks penegakan karena aparaturnya masih belum sepenuhnya memiliki kesadaran pentingnya melindungi perempuan," paparnya.
Perempuan Harus Pegang Peranan Untuk Ubah Kebijakan Publik
Menurut anggota DPR RI dari Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago, untuk memaksimalkan perlindungan atas perempuan harus ada upaya serius mengubah kebijakan publik lewat badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
"Perlindungan akan optimal jika perempuan peduli dan bersatu melakukan perubahan lewat parlemen, eksekutif dan yudikatif. Perempuan harus mengisi posisi di badan-badan itu sehingga punya kapasitas dan akuntabilitas untuk mengubah kebijakan. Kebijakan publik yang berdampak positif pada kondisi sosial ekonomi perempuan harus diperjuangkan secara elegan, bukan sekedar karena kasihan melihat perempuan sebagi sosok yang lemah," ujar Irma.
Saat ini ada 97 perempuan yang duduk di DPR atau berarti 17% dari total 560 anggota yang ada. Jumlah ini berbanding terbalik dengan tingkat pencalonan perempuan dalam pemilu 2014 yang mencapai 37%.
Banyak "PR" Harus Diselesaikan Pemerintah
Sejauh ini Komnas Perempuan menilai pemerintah sudah mulai meningkatkan perannya untuk melindungi perempuan, meski masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
"Negara bukannya tidak melakukan sesuatu. Komitmen politik untuk mengangkat isu kekerasan menjadi kebijakan sudah ada. Upaya memperluas layanan bagi perempuan juga ada. Tetapi ada PR (pekerjaan rumah) yang masih harus diselesaikan. Melihat banyaknya perempuan yang mengadukan masalahnya pada LSM atau organisasi-organisasi mitra kami, bukan pada layanan yang disediakan pemerintah, menunjukkan bahwa ada sebagian layanan itu masih belum ramah pada perempuan. Belum lagi jika kita melihat tingginya kasus perkawinan anak, mereka menikah resmi di institusi-institusi negara (KUA). Perkawinan anak adalah bentuk pembiaran pemerkosaan yang direstui negara dan orang tua. Ketika kami mendesak untuk menaikkan usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, negara menolak!” tambah Yuni.
Yuniyanti menambahkan dibanding tahun sebelumnya memang jumlah kekerasan terhadap perempuan menunjukkan penurunan, tetapi hal ini karena perubahan pola pendokumentasian di sejumlah lembaga negara, tidak meratanya akses layanan di sejumlah daerah dan keenganan korban melapor karena rumitnya akses mendapatkan keadilan.
"Saya sendiri memantau kasus-kasus KDRT di NTT, di mana para perempuan lebih memilih menyimpan rapat-rapat insiden yang terjadi daripada harus menanggung malu atau bahkan kehilangan ternaknya, kambing dan sapi, karena harus bolak-balik ke kota untuk mengurus kasusnya. Akhirnya upaya menuntut keadilan tidak membuahkan hasil, malah semakin memiskinkan perempuan yang sudah tertimpa masalah. Akhirnya mereka memilih untuk tidak mengurus kasusnya. Jadi ini semua membuat seakan-akan kasus kekerasan terhadap perempuan turun, padahal tidak demikian," tambahnya lagi.
Apa saja "PR" Pemerintah?
Perkawinan anak di bawah umur yang disahkan negara, yang jumlahnya mencapai 8.488 kasus, memang menjadi salah satu pekerjaan rumah yang dicatat Komnas Perempuan. Praktek perkawinan anak terbukti ikut menimbulkan dampak pada angka kekerasan terhadap perempuan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi untuk menaikkan batas usia perkawinan anak, telah ikut mengukuhkan praktek perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak perempuan.
Tingginya angka kematian ibu juga menjadi pekerjaan rumah lain. Menurut Komnas Perempuan, kematian ibu tidak bisa dianggap sebagai isu kesehatan semata, terlebih mengingat jumlahnya jauh lebih besar dari korban perang.
Lainnya adalah soal pola kekerasan yang semakin kompleks dan harus direspon lebih cepat yaitu kekerasan dan kejahatan dunia maya, mulai dari pembunuhan karakter atau pelecehan seksual melalui dunia maya yang berdampak langsung dan dalam jangka waktu yang panjang.
Komnas Perempuan juga menggarisbawahi isu lama yang masih terus menggelayut yaitu diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki orientasi dan ekspresi seksual lain, kelompok penyandang cacat, dan kelompok perempuan yang terkena dampak pembangunan (korban penggusuran, perluasan perkebunan, pembabatan hutan adat dan lain-lain).
Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sudah dipetakan dengan sangat jelas, kini tergantung bagaimana pemerintah menggandeng para aktivis dan tokoh perempuan di segala lapisan masyarakat untuk mewujudkan kebijakan publik yang melindungi perempuan. Jika pemerintah terlalu lambat, bukan tak mungkin peran itu diambil alih kaum perempuan sebagaimana yang terjadi di banyak negara. [em/al]