Komisaris Tinggi PBB Untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mengimbau Ethiopia agar mengizinkan penyelidikan atas tuduhan pembunuhan dan kekerasan seksual di wilayah Tigray, yang mungkin merupakan kejahatan perang.
"Kami mendesak pemerintah Ethiopia untuk memberikan kantor saya dan pemantau independen lainnya, akses ke wilayah Tigray, dengan tujuan untuk menetapkan fakta dan berkontribusi pada akuntabilitas, terlepas dari afiliasi pelakunya," kata Michelle Bachelet, dalam sebuah pernyataan hari Kamis (4/3).
Pasukan federal yang dikerahkan oleh Perdana Menteri Abiy Ahmed telah memerangi pasukan bekas partai yang berkuasa di kawasan itu, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF). Menurut PBB ribuan orang tewas di daerah di mana sebelum konflik dimulai ratusan ribu warganya bergantung pada bantuan makanan.
"Analisis awal dari informasi yang diterima menunjukkan bahwa pelanggaran serius hukum internasional, yang mungkin merupakan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, mungkin telah dilakukan oleh banyak aktor dalam konflik tersebut," kata Bachelet.
Selain TPLF, Bachelet menyebut Angkatan Pertahanan Nasional Ethiopia, angkatan bersenjata Eritrea, dan pasukan regional Amhara serta milisi yang berafiliasi, sebagai tersangka pelaku pembunuhan dan penyerangan seksual.
Pemerintahan Abiy, pemerintah di Tigray, dan TPLF belum mengomentari pernyataan kepala hak asasi manusia tersebut. Meski demikian kantor perdana menteri Ethiopia, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada tanggal 3 Maret menanggapi laporan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Tigray mengatakan "tidak ada individu atau entitas, secara nasional atau internasional, yang berada di atas hukum negara."
Seruan Bachelet untuk penyelidikan juga mengikuti laporan terpisah oleh Amnesty International dan saluran berita kabel Amerika, CNN, tentang pembantaian yang diduga dilakukan oleh pasukan Eritrea di kota Axum dan gereja kuno Maryam Dengelat.
Amnesty juga mendapati pasukan Ethiopia mungkin telah melakukan kejahatan perang. Selain itu, banyak korban dan sejumlah saksi mata di Axum pada bulan Januari juga menyampaikan kesaksiannya kepada VOA. [my/em]