Yakobus Mebri melangkah di depan teman-teman sekelasnya dalam sebuah pusat pelatihan di Bogor, Jawa Barat, dan dengan suara lantang, bertanya apakah hati mereka terbakar untuk membela bangsa.
Teman-temannya berteriak mengiyakan, sebelum melakukan gerakan-gerakan seperti tarian perang.
Instruktur mereka, Mayjen Hartind Asrin, kemudian meminta mereka duduk untuk memulai kelas “Bela Negara.”
“Kita harus lebih waspada akan potensi ancaman sejak dini," ujarnya di saat para murid mencatat dengan rajin.
Pusat pelatihan yang luas di Bogor adalah pusat gerakan yang diluncurkan para pejabat di Kementerian Pertahanan dan militer melawan hal-hal yang dianggap ancaman, seperti komunisme, narkoba dan homoseksualitas.
Konsep bela negara sudah ada sebelum kemerdekaan, menurut para pejabat, tapi sekarang mereka melihat perlunya peningkatan perlindungan melawan "pengaruh-pengaruh" yang menyimpang dari prinsip-prinsip dan norma-norma negara dengan mayoritas penduduk Muslim.
Dalam beberapa bulan terakhir, gerakan ini telah mendapat momentum, sebagian atas reaksi untuk mendukung Presiden Joko Widodo dalam penyelidikan terhadap pembantaian anti-komunis tahun 1965.
Para ahli sejarah mengatakan sedikitnya 500.000 orang tewas dalam aksi kekerasan yang mengikuti pembunuhan enam jenderal oleh terduga komunis dalam percobaan kudeta terhadap Presiden Sukarno.
Pemerintah-pemerintah setelahnya menolak meminta maaf atau menerima jumlah korban tewas, dan langkah Presiden telah memicu kemarahan elit militer.
"Mereka Pantas Mati"
Menteri Pertahanan dan jenderal purnawirawan Ryamizard Ryacudu, yang mengatakan kepada Reuters baru-baru ini bahwa komunis mungkin sedang mencoba balas dendam, minggu lalu menggunakan perbandingan bom atom Hiroshima tahun 1945 untuk menjustifikasi pembantaian setengah abad yang lalu itu.
"Itu adalah kebangkitan, mereka pantas mati," ujarnya dalam pertemuan pensiunan pejabat dan kelompok-kelompok nasionalis, dimana seorang wartawan perempuan mengatakan ia diusir karena beberapa orang menuduhnya kaki tangan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Lebih dari 2.000 anggota "Bela Negara" dan kelompok Islamis berbaris dari masjid ke Istana Presiden Jumat lalu untuk memprotes apa yang mereka anggap kebangkitan kembali komunisme, membakar bendera-bendera palu arit di jalanan.
Banyak dalam barisan itu yang mengatakan mereka takut akan kebangkitan PKI, yang termasuk dari partai komunis terbesar di dunia sebelum dilarang tahun 1966.
Seperti pemrotes lainnya yang ditanya Reuters, Ilyas yang berusia 40 tahun dari Jakarta belum pernah bertemu seorang komunis. Namun ia melihat tanda-tanda kembalinya mereka: "Banyak fitur-fitur komunisme sekarang muncul, dari perspektif budaya dan pakaian serta wilayah lain," ujarnya.
Di bawah pemerintahan Presiden Suharto, PKI dibubarkan dan simbol-simbol aliran kiri dilarang.
Para pengkritik yakin kemunculan ketakutan akan komunisme, berikut pengutukan gay dan "pengaruh asing" lainnya, adalah upaya tentara untuk memiliterisasi kembali masyarakat Indonesia, setelah hilangnya pengaruh mereka dalam urusan sipil dan politik setelah Suharto mengundurkan diri tahun 1998.
Jogging, Lagu dan Ceramah
Pejabat "Bela Negara", Mayjen Asrin mengatakan kepada Reuters bahwa program itu diperlukan untuk memperkuat nilai-nilai nasionalistik dan mengatakan sekitar 1,8 juta orang telah mendaftar.
Para pejabat berencana membuka hampir 900 pusat pelatihan di seluruh negeri pada awal 2018, dengan materi pelajaran dan dana dari pemerintah dan pengajar dari militer atau polisi, ujar Asrin.
Di pusat pelatihan, hari biasanya dimulai pukul 5 pagi dengan jogging, bernyanyi dan berbaris, diikuti dengan kuliah dan sesi praktik. Para pejabat bersikeras program ini adalah untuk mencetak warga negara yang lebih baik, bukan tentara, meskipun Reuters melihat beberapa peserta diajari cara memasang senjata.
Jiwa "Bela Negara" dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk, seperti pelaporan kawan yang berperilaku tidak benar kepada pihak berwajib, ujar Gianto, salah satu dari 10 pengajar di tempat itu, yang mengajar sesi keterampilan kepemimpinan.
Gianto mengatakan ia mencoba menekankan pola pikir "satu untuk semua, semua untuk satu" kepada murid-muridnya dan mengatakan contoh praktis hal itu adalah menghukum seluruh murid atas kesalahan seorang individu.
Program itu datang dari keprihatinan pihak berwenang bahwa beberapa tren dalam masyarakat tidak sesuai dengan nilai-nilai nasionalistik, menurut analis politik Djayadi Hanan.
"Namun hal ini menjadi kontroversial karena militer dan Kementerian Pertahanan terlibat dalam program ini, memicu kecurigaan akan militerisasi," ujarnya.
Bagi siswa "Bela Negara, Mebri, program itu akan menanamkan rasa cinta tanah air sejak dini.
"Kursus ini membantu saya membentuk karakter dan kepribadian, sehingga saya akan menjadi orang yang kuat, tegas dan jujur yang selalu siap mengikuti perintah atasan," ujarnya. [hd]