Tanggal 10 Desember seharusnya menjadi perayaan ulang tahun ke lima situs berita lokal suarapapua.com. Sayangnya, sejak 4 November 2016, pemerintah sudah memblokir akses situs yang memberitakan peristiwa di Papua tersebut.
Arnold Belau, pemimpin redaksi laman tersebut kepada VOA mengatakan, pemblokiran dilakukan sepihak oleh pemerintah, tanpa peringatan dan pemberitahuan, dan bersamaan dengan situs-situs lain yang dinilai menyebarkan paham radikal.
Padahal Suara Papua, katanya, selama ini lebih banyak berisi berita lokal seputar wilayah tersebut.
“Saya yakin, pemblokiran Suara Papua ini dilakukan karena ketakutan pemerintah di Jakarta terhadap pemberitaan di Suara Papua. Dimana Suara Papua ini memberitakan 'sesuatu yang lain' dari apa yang sebenarnya terjadi di Papua," ujar Arnold.
"Saya sangat yakin, pemerintah memang tidak nyaman dengan pemberitaan dari Suara Papua. Tetapi di sisi lain, pemerintah harus sadar bahwa kemerdekaan pers itu ada dan dijamin undang-undang. Pemberitaan sekeras apa pun yang dilakukan oleh Suara Papua itu saya kira tidak masalah dan itu konsekuensi dari kemerdekaan pers," tambahnya.
Redaksi sudah meminta klarifikasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, ujarnya, namun memperoleh penjelasan yang memadai.
Dalam surat klarifikasi yang diberikan Kemenkominfo, disebutkan bahwa tindakan pemblokiran itu dilakukan karena lembaga tersebut memiliki kewenangan menindak situs yang bermuatan negatif. Namun tidak ada penjelasan memadai mengenai muatan negatif itu, juga sampai kapan pemblokiran terhadap Suara Papua akan dilakukan.
Arnold mengatakan pihaknya berharap Dewan Pers dapat membantu upaya menghidupkan kembali sumber berita bagi warga Papua tersebut. Ia menambahkan, ada sejumlah media daring di Papua yang menyebar berita provokatif, tetapi justru tidak diblokir sampai saat ini.
Dia merasa Suara Papua, yang resmi berbadan hukum diperlakukan tidak adil.
Dengan tujuh jurnalis muda yang tersebar di berbagai kota di Papua, media itu dianggap sebagai alternatif sumber informasi, karena lebih berani memberitakan kasus-kasus kekerasan aparat terhadap warga Papua.
Fabio Costa, Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura, kepada VOA mengaku sudah mengetahui nasib situs berita Suara Papua yang diblokir Kemenkominfo.
Ia mengatakan, AJI merekomendasikan ada laporan resmi Suara Papua agar organisasi jurnalis ini dapat memberikan dukungan secara resmi untuk mempertanyakan alasan pemerintah melakuan pemblokiran.
Menurut Fabio, konten yang dimuat suarapapua memang lebih terfokus pada dalam isu-isu terkait perjuangan kemerdekaan Papua. Kadang mereka dianggap menyudutkan aparat keamanan, misalnya dalam kasus penembakan warga sipil, katanya.
“Memang peliputan kasus-kasus terkait separatis mendapat perhatian khusus dari aparat keamanan. Tetapi itu lah yang kita perjuangkan bersama AJI. Misalnya dalam peliputan aksi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) jurnalis lokal ada yang dirampas kameranya, dirusak HP-nya," ujar Fabio.
"Mungkin yang menjadi kendala juga, aparat merasa disudutkan karena merasa tidak diminta konfirmasi. Kalau sebagai produk Suara Papua harus dilindungi, karena wartawan bebas meliput isu, tidak hanya menulis soal pemerintahan saja.”
Menurut Fabio, Suara Papua diyakini memiliki jumlah pembaca besar dan mampu membentuk opini, bahkan hingga di lingkungan Asia-Pasifik. Kondisi inilah yang mungkin mendorong pemerintah memblokir situs berita tersebut.
Jurnalis senior yang juga Pemimpin Redaksi Tabloid Jubi di Papua, Victor Mambor menyatakan keprihatinannya karena tidak ada keterangan resmi pemerintah terkait pemblokiran suarapapua.com.
Victor menilai, secara teknis mungkin memang ada kekurangan, karena Suara Papua dikelola anak-anak muda. Untuk memenuhi keberimbangan, para jurnalis muda ini masih butuh proses belajar, katanya.
Namun, sebagai produk jurnalistik, ia mengatakan media itu telah memenuhi kaidah karena mereka juga melakukan konfirmasi dan verifikasi. Victor juga mempertanyakan tidak adanya respon yang cukup dari organisasi pers terkait pemblokiran situs berita ini.
Belajar dari tabloid Jubi, kata Victor, dia pernah menyarankan kepada pengelola Suara Papua untuk juga memuat berita-berita dari Jakarta atau berita umum. Media di Papua sebaiknya juga meliput isu-isu pembangunan, kesehatan, dan pendidikan, agar dinilai berimbang.
“Saya tidak pernah melihat ada provokasi atau SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang ada di Suara Papua. Menurut saya, Suara Papua saat ini menjadi satu-satunya media di Papua yang merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi di Papua," ujarnya.
"Suara Papua memang betul-betul Papua, sangat Papua, dan lokal Papua sekali. Jadi, sebenarnya tidak adil juga, karena ada banyak situs di Papua ini yang dikelola dengan tidak benar, provokatif, tidak jelas wartawannya , kantornya entah di mana, tetapi dibiarkan saja. Suara Papua ini jelas, redaksinya jelas, semua syarat yang diberikan Dewan Pers sudah dipenuhi.”