Thailand telah mengumumkan akan mengadakan pemilu bulan Juli yang diharapkan akan membawa stabilitas bagi gejolak politik di negera itu. Pemilu tersebut diharapkan akan menjadi persaingan ketat antara kelompok elit tradisional Thailand yang diwakili partai Demokrat yang berkuasa dibawah pimpinan PM Abhisit Vejjajiva dan kelompok oposisi yang didukung mantan PM Thaksin Shinawatra.
Minggu ini, PM Thailand Abhisit Vejjajiva mengumumkan rencana pembubaran DPR yang akan membuka jalan bagi pemilu nasional yang dijadwalkan pada tanggal 3 Juli.
Dalam pesan yang disiarkan televisi nasional, PM Abhisit mengatakan pemilu itu akan memulihkan stabilitas politik negara itu.
Dia mengatakan pemilu itu adalah sebuah awal baru bagi Thailand untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi rakyat sesuai prosedur yang demokratis.
Walaupun ada keoptimisan PM Abhisit itu, analis politik merasa skeptis dalam menyelesaikan perpecahan mendalam di Thailand.
Partai oposisi Puea Thai didukung mantan PM Thaksin Shinawatra yang digulingkan lewat kudeta militer tahun 2006. Sejak saat itu, Thailand telah dilanda berbagai protes dan kekerasan dalam pertarungan kekuasaan antara kelompok elit tradisional yang didukung militer dan pendukung Thaksin.
Thitinan Pongsudhirak adalah direktur Institut of Security and International Studies di Universitas Chulalangkorn di Bangkok. Ia mengatakan penentang Thaksin akan bekerja keras untuk mencegah pendukung Thaksin berkuasa kembali. Ia mengatakan,“Dari pihak yang anti Thaksin, mereka mengusahakan segala cara untuk mencegah kekuasaannya kembali, termasuk kudeta militer, membuat UU baru, membubarkan partai Thaksin, melarang politisi dari partainya, meluaskan pengaruh PM Abhisit di militer. Tapi setelah dua tahun pemerintahan Abhisit, dia belum mampu memenangkan hati rakyat.”
Jajak pendapat baru-baru ini menempatkan partai Puea Thai memimpin tipis dibanding partai Demokrat yang berkuasa.
Tahun lalu ribuan demonstran oposisi yang dikenal sebagai Kaos Merah menduduki sebagian kota Bangkok selama dua bulan, menuntut diadakannya pemilu dan mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai perlakuan tak adil atas para pemimpin mereka.
PM Abhisit memerintahkan militer untuk menghentikan demonstrasi itu yang menyebabkan bentrokan yang menewaskan lebih dari 90 orang, kebanyakan warga sipil.
Pemimpin Kaos Merah yang terlibat dalam demonstrasi itu telah dikenai tuduhan terorisme dan menghina kerajaan yang diancam hukuman hingga 15 tahun penjara. Namun, tak ada tentara yang dihukum, meskipun ada bukti dari kelompok HAM yang mengatakan militer membunuh demonstran yang tak bersenjata.
Demonstran Kaos merah mengatakan pemerintah terus menekan mereka. Pada minggu-minggu ini militer telah menutup radio komunitas Kaos Merah dan menahan pendukungnya.
Analis Thitinan di Bangkok memperkirakan tanpa kompromi politik dari kedua pihak tidak akan ada penyelesaian damai bagi konflik itu.
Diantara masyarakat Thailand, tampaknya tak banyak harapan bahwa para pemimpin politik akan menyetujui kompromi seperti itu.
Sebuah survei yang diadakan tahun ini oleh lembaga nirlaba Asia Foundation menunjukkan lebih dari 80 persen warga Thailand percaya perpecahan politik negara itu akan memunculkan kembali aksi-aksi kekerasan.