Pemimpin Hong Kong, Kamis (31/3), menolak klaim bahwa sistem pengadilan kota itu kehilangan independensinya setelah dua hakim Inggris mengundurkan diri dari sistem pengadilan di wilayah semi-otonom itu.
Kedua hakim tersebut ditarik pulang oleh Inggris dengan alasan undang-undang yang semakin menindas yang diberlakukan oleh China daratan.
Kepala Eksekutif Carrie Lam mengatakan ia menerima pengunduran diri mereka tetapi bersikeras bahwa “aturan hukum tetap kuat seperti biasanya.''
''Semuanya bernuansa politik,'' kata Lam. ''Sangat jelas bagi semua, para pejabat pemerintah Inggris dan politisi Inggris menggunakan cara ini untuk merusak sistem peradilan independen kami yang sangat dihormati, dan ini sangat disesalkan.''
Kedua hakim Inggris itu telah duduk di Pengadilan Banding Akhir -- sebutan pengadilan tertinggi di Hong Kong -- sejak kota itu dikembalikan ke China pada 1997, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga supremasi hukum.
Namun Inggris dan negara-negara Barat lainnya mengatakan China telah mengingkari janjinya untuk mempertahankan sistem sosial, hukum, dan politik tersendiri Hong Kong yang telah eksis selama 50 tahun. China dituding mengambil tindakan keras yang intens terhadap lembaga-lembaga di kota itu menyusul protes antipemerintah pada 2019.
Upaya China tersebut termasuk pengesahan Undang-Undang Keamanan Nasional pada tahun 2020 dan perubahan sistem pemilihan yang secara efektif mengakhiri oposisi politik di wilayah tersebut.
"Pengadilan di Hong Kong terus dihormati secara internasional atas komitmen mereka terhadap supremasi hukum," kata Robert Reed, salah satu dari dua hakim Inggris itu, setelah pengunduran dirinya. “Namun demikian, saya menyimpulkan, atas persetujuan pemerintah, bahwa para hakim di pengadilan tertinggi ini tidak dapat terus menjabat dalam sistem peradilan Hong Kong tanpa terlihat mendukung suatu pemerintahan yang telah menyimpang dari nilai-nilai kebebasan politik, dan kebebasan berekspresi.''
Undang-undang keamanan nasional, yang melarang pemisahan diri, subversi, terorisme dan kolusi dengan pihak asing, telah digunakan untuk menangkap lebih dari 100 tokoh prodemokrasi, termasuk para pemimpin dan aktivis politik paling terkemuka di Hong Kong.
Sejak undang-undang itu diberlakukan, polisi Hong Kong juga telah menggerebek sejumlah outlet media penting, seperti Apple Daily, yang kemudian ditutup dan banyak jurnalisnya ditangkap. [ab/uh]