Posko Pengaduan LBH Pers dan Aliansi Jurnalis Independen AJI Jakarta telah menerima 111 pengaduan masalah ketenagakerjaan di industri media akibat pandemi virus corona. Pemotongan upah hingga PHK sepihak dialami sejumlah pekerja media dalam aduan yang diterima. Komitmen pemerintah untuk memberikan insentif kepada industri media tidak otomatis membuat tenang pelaku bisnis tersebut.
Sejak dibuka 3 April hingga setidaknya akhir Juli lalu, Posko Pengaduan LBH Pers dan Aliansi Jurnalis Independen AJI Jakarta telah menerima 111 laporan masalah ketenagakerjaan di industri media. Aduan-aduan itu mencakup pemutusan hubungan kerja atau PHK secara sepihak, hingga penangguhan upah secara sepihak.
Salah satu pengaduan yang masuk yaitu dirumahkan dan dipotongnya separuh upah 37 pegawai bagian pemberitaan PT Net Mediatama Televisi sejak bulan Mei.
Dalam wawancara dengan VOA melalui sambungan Zoom akhir Juli lalu (29/7), Ahmad, karyawan NET yang nama sebenarnya disamarkan untuk alasan keamanan, menuturkan bahwa ia dan rekan-rekannya langsung diberi surat keputusan perusahaan tanpa ada diskusi terlebih dahulu. “Kalau yang kami ketahui, mereka bilang sih ketika ada Covid-19 ini melakukan langsung efisiensi," ujar Ahmad.
"Kita langsung dikasih surat bahwa kami dirumahkan terus dipotong gajinya, selama pemotongan dan perumahan itu kami juga dikasih tahu akan dipekerjakan lagi dalam waktu yang ditentukan mereka, tapi tidak ada jadwal pastinya. Sehingga (dengan) kondisi itu, (saya) bersama 37 orang yang dirumahkan sempat menolak.”
Ahmad dan rekan-rekannya dua kali melayangkan somasi kepada manajemen perusahaan. Pertemuan bipartit hingga mediasi oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta pun dilakukan. Akan tetapi, manajemen NET justru muncul dengan sejumlah opsi bagi karyawan yang dirumahkan, yaitu: mengundurkan diri dengan sejumlah ganti rugi atau memutus hubungan kerja alias PHK dengan jumlah pesangon yang dinilai Ahmad tidak sesuai aturan perundang-undangan.
Hingga berita ini diturunkan, Direktur Operasional NET, Azuan Syahril, tidak memberikan tanggapan terhadap permintaan wawancara VOA untuk mengklarifikasi masalah tersebut.
Rizki Yudha, Pengacara Publik LBH Pers yang juga menangani masalah tersebut, mengungkapkan bahwa akar dari sebagian besar masalah ketenagakerjaan industri media di masa pandemi Covid-19 ini adalah komunikasi yang tidak baik antara perusahaan dengan karyawan.
Dalam wawancara Zoom dengan VOA, Rizki menuturkan, “Situasi saat ini memang harus dipahami, bahwa ini situasi yang sulit, situasi yang berdampak pada iklim ekonomi Indonesia saat ini. Itu memang perlu dipahami bersama. Tapi, di satu sisi, pekerja itu adalah aset utama perusahaan yang harus dijaga, dijamin hak-haknya. Jadi alasan situasi saat ini tidak bisa serta merta membuat perusahaan melakukan pemotongan upah secara sepihak, tidak bisa mem-PHK secara sepihak, tidak bisa melakukan pemotongan hak-hak terhadap pekerja secara sepihak, karena itu semua sudah diatur di Undang-Undang.”
Pemerintah berkomitmen memberikan insentif pada industri media untuk mengatasi ancaman PHK akibat pandemi virus corona. Pada 24 Juli lalu, pertemuan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh dan sejumlah perwakilan asosiasi media massa nasional di Jakarta, menghasilkan sejumlah poin, di antaranya mengupayakan mekanisme penundaan atau penangguhan beban listrik bagi industri media, penangguhan kontribusi BPJS Ketenagakerjaan selama 12 bulan untuk industri pers dan industri lainnya lewat Keppres, hingga instruksi kepada semua kementerian agar mengalihkan anggaran belanja iklan kepada media lokal.
Dalam jawaban kepada VOA saat diskusi virtual “Bisakah Pers Bertahan di Tengah Pandemi?” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (29/7), Direktur Utama Radio Suara Surabaya, Errol Jonathan, berterima kasih atas gagasan insentif tersebut. Akan tetapi, perusahaannya tidak akan mengandalkan hal itu untuk bertahan di tengah pandemi.
“Kira-kira prosedurnya seberapa cepat bisa cair? Jadi ini yang menjadi masalah, karena yang saya dengar, masih harus ada regulasi-regulasi yang menopang dan menunjang itu baru bisa dilaksanakan. Jadi saya tidak bisa mengandalkan itu, dan saya harus mengatakan pada teman-teman kita harus bekerja dengan lebih keras lagi bagaimana cashflow kita itu selamat, dan kemudian sedikit banyak kita punya celengan untuk ketika terjadi sesuatu yang nggak kita harapkan, karena semua nggak berani meramalkan covid selesai kapan?” ujar Errol.
Industri media tak luput terkena dampak pandemi Covid-19. Kebijakan karantina wilayah dan pembatasan aktivistas masyarakat menyebabkan anjloknya aktivitas ekonomi yang berdampak terhadap sepinya iklan. Hal itu memperparah krisis yang dihadapi industri media di tengah disrupsi industri teknologi informasi.
Berdasarkan survei yang dilakukan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada 25 April hingga 5 Mei terhadap 319 media anggotanya, setidaknya satu perusahaan gulung tikar akibat corona, sementara pendapatan rata-rata perusahaan turun 40% dan mengakibatkan pemotongan serta penangguhan upah. [rd/em]