Pengadilan Tinggi Jambi hari Senin (27/8) yang memutuskan perkara banding atas seorang anak perempuan berusia 15 tahun di Jambi, yang divonis bersalah di pengadilan yang lebih rendah karena menggugurkan kandungan hasil perkosaan abangnya sendiri, akhirnya membebaskannya.
Dalam pernyataan yang diterima VOA hari Senin (27/8), anggota majelis hakim Pengadilan Tinggi Jambi Jhon Diamond Tambunan SH, MH, menyatakan “anak Ww telah terbukti melakukan tindak pidana aborsi."
Tetapi pernyataan itu juga menyatakan, "… tindakan yang dilakukan dalam keadaan daya paksa, maka melepaskan anak (tersebut) dari segala tuntutan hukum."
Putusan itu juga "memulihkan hak anak dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya.”
Baca juga: Aktivis Khawatir Revisi KUHP akan Perkuat Kriminalisasi Aborsi
Pelaku Perkosaan Masih Jalani Masa Hukuman
Sementara itu sang kakak, pelaku pemerkosaan berulangkali terhadap adik kandungnya sendiri, masih tetap menjalani proses hukuman dua tahun penjara sebagaimana vonis pengadilan 19 Juli lalu. Ibu kedua anak ini juga sedang disidik polisi karena diduga ikut menutupi terjadinya pemerkosaan dan membantu proses aborsi.
Putusan PN Jambi Dikecam Luas
Sejumlah kelompok aktivis menggugat putusan pengadilan negeri Jambi terhadap Ww. Gabungan LSM "Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan" menilai hakim PN Muara Bulian Jambi telah melanggar kode etik hakim dan melaporkannya ke Komisi Yudisial pada 30 Juli, atau tiga hari setelah tim kuasa hukum Ww mengajukan banding atas putusan hakim ke pengadilan tinggi.
Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta Veni Siregar kepada wartawan mengatakan ada cacat prosedur dan cacat substansi dalam pemeriksaan kasus itu, dan sedianya pengadilan tinggi dapat memeriksa ulang bukti-bukti yang ada dan membebaskan korban. “Ada pelanggaran serius dalam pemeriksaan perkara, unsur tindak pidana yang didakwa dalam persidangan tidak terbukti dan terdapat alasan penghapusan pidana untuk anak korban perkosaan,” ujarnya.
ICJR: Banyak Kasus Baru, Harus Ada Keleluasaan Terjemahkan Aturan Hukum
Sementara Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara kepada VOA mengatakan harus ada keleluasaan untuk menerjemahkan aturan hukum yang sifatnya umum, karena dari masa ke masa selalu muncul kasus baru. UU Kesehatan, yang menjadi landasan vonis hakim, memang hanya memperkenankan aborsi selama janin belum menginjak hari ke-40, “tetapi anak sekecil itu diperkosa tentunya belum tahu ia hamil. Apalagi perkosaan itu dilakukan di dalam lingkungan keluarga, tentu ia tidak bisa mencari perlindungan atau bercerita secara bebas di lingkungannya," tandasnya.
Anggara menambahkan, "Pengadilan dapat saja memutuskan bahwa ia bersalah karena melakukan aborsi, tetapi melihat faktor-faktor penyebab yang mendorong ia melakukan perbuatan itu maka apakah ia harus dihukum karena perbuatannya? Saya kira ini yang tidak tepat. Ada faktor-faktor di luar akal sehat sehingga ia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Perbuatannya mungkin terbukti benar, tapi ia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban."
Anggara menggarisbawahi penggunaan aturan lain dalam mengkaji kasus seperti di Jambi ini, selain KUHPidana dan UU Kesehatan, yaitu Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. [em]