Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan, pertengahan minggu lalu di Jakarta memastikan bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tahun 1965 akan dilakukan melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi. Langkah hukum, seperti membawa pelaku ke pengadilan, akan sangat sulit dilakukan. Kementerian yang dipimpin Luhut saat ini juga sudah membentuk sebuah tim kajian, untuk menelaah semua rekomendasi simposium terkait tragedi 65. Tim ini juga akan menerima pendapat para ahli, dan dijamin bisa bekerja secara independen.
"Pemerintah tidak akan melakukan intervensi kerja tim pengkaji simposium 1965 ini. Tim ahli sudah bergerak dan bekerja," kata Luhut kepada wartawan di Jakarta.
Meski pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah, prosesnya dianggap lamban oleh pihak korban tragedi 65, tetapi kenyataan itu sejauh ini bisa diterima. Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 kepada VOA mengatakan, pemerintahan Jokowi tidak sepenuhnya bersih dari unsur-unsur tokoh Orde Baru yang secara kelembagaan terkait dengan peristiwa 65. Tetapi dia berharap presiden memenuhi janjinya untuk mengungkap dan meluruskan sejarah seputar PKI dan pembantaian massa yang terjadi. Bedjo bahkan berharap, setidaknya dalam pidato kenegaraan pada peringatan kemerdekaan Agustus nanti, Jokowi mewakili negara bersedia menyampaikan ungkapan penyesalan atas tragedi itu.
“Saya dengar, mudah-mudahan dalam pidato 17 Agustus nanti, Jokowi harus mengeluarkan semacam ucapan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM 65. Dimana terjadi pembunuhan massal dan lain sebagainya. Paling tidak ada pengungkapan penyesalan atau kemauan untuk mengungkap kebenaran peristiwa 65," kata Bedjo.
Saat ini, YPKP sedang mendorong pemerintah menginvestigasi keberadaan sejumlah kuburan massal korban tragedi 65. YPKP sendiri sudah menyerahkan data 122 kuburan massal dengan sekitar 14 ribu korban yang ada di dalamnya, untuk wilayah Sumatera dan Jawa.
“Dengan kita mengungkapkan adanya kuburan massal, saya akan tunjukkan inilah yang dilakukan oleh tentara atau penguasa ketika itu, bekerja sama dengan Ormas-Ormas yang kena provokasi, yang membantai orang orang yang diduga anggota PKI. Ini satu bukti. Jadi tidak bisa mengelak lagi bahwa ada keterlibatan negara," tambah Bedjo.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dr Budiawan kepada VOA mengaku, pengungkapan tragedi 65 di Indonesia tidak akan pernah mudah. Faktornya adalah karena pihak yang secara kelembagaan diduga menjadi pelaku aksi kekerasan itu, masih terus menjadi bagian dari penguasa negara sampai saat ini. Meski ada pihak-pihak yang secara pribadi mendorong adanya rekonsilisasi dan permintaan maaf, tetapi sulit mengharapkan adanya sikap terbuka dari lembaga, seperti Angkatan Darat. Proses ini berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Jerman pasca Perang Dunia II atau Afrika Selatan dengan rejim Apartheidnya.
Budiawan mengatakan, “Bagaimana mungkin kita menuntut mereka untuk mengakui kesalahan masa lalu, ketika mereka masih menjadi bagian dari kekuasaan. Di Afrika Selatan tidak begitu, di Jerman pasca Perang Dunia II tidak begitu. Pelaku tragedi kemanusiaan kemudian menjadi pihak yang kalah. Pengadilan Nuremberg (untuk kasus kejahatan oleh Nazi) di Jerman itu mulus. Dalam kasus Afrika Selatan, tidak ada piihan lain bagi rejim Apartheid selain menerima usulan rekonsiliasi.”
Budiawan menyambut baik langkah awal proses penyelesaian tragedi 65 dengan penelusuran kuburan massal para korban. Dia juga mengingatkan, agar masyarakat tidak memperdebatkan soal jumlah korban, karena akan menghilangkan subtansi persoalan itu sendiri. Menurutnya, tidak akan pernah ada metode yang bisa diterapkan untuk mencari jumlah korban yang sebenarnya. Angka yang muncul adalah perkiraan, dan berapapun itu jika negara diduda terlibat, maka harus diselesaikan. Dalam teorinya, kata Budiawan, angka perkiraan dan lokasi korban bisa dilihat dari penelitian atas data kependudukan sebelum dan sesudah peristiwa.
“Di banyak tempat, di Indonesia, penduduk dari sensus tahun 1962 ke sensus 1971 itu mengalami peningkatan cukup signifikan. Tetapi di beberapa tempat justru mengalami penurunan. Itu saja sudah satu indikator bahwa di tempat itu dulu terjadi pembantaian massal. Dan itu hanya satu metode untuk mengira-ira jumlah korban pembantaian 65/66. Terus juga bisa kita telusuri tentang keluarga. Berapa banyak yang anggota keluarganya utuh sesudah tragedi 65/66 dan berapa banyak yang tidak utuh," tambahnya lagi. [ns/em]