Edy Wahyudi sudah beberapa kali aktif menjadi relawan dan terjun dalam tim kemanusiaan ketika terbuka kesempatan ke Gaza, Palestina. Ia bergabung dengan Medical Emergency Rescue Committee, yang lebih dikenal dengan singkatannya MER-C, yang kala itu membutuhkan banyak relawan untuk pembangunan rumah sakit Indonesia di Gaza.
“(Menjadi) relawan karena panggilan hati dan dalam perjalanan akhirnya kami terpanggil untuk memberi sumbangsih pemikiran, sumbangsih fisik untuk pengawasan rumah sakit Indonesia di Gaza,” ungkapnya.
Edy yang sehari-hari berkecimpung dalam bisnis konsultan dan pembangunan berangkat ke Gaza pada 2011. Perannya adalah manajer proyek. Ketika pembangunan fisik rumah sakit belum tuntas pada 2014, Gaza berperang dengan Israel selama 52 hari. Edy mengenang ketakutannya kala itu.
“Ya namanya orang sipil, gemetar juga lah mendengar suara bom. Kaget-kaget. Karena, waktu itu di seberang jalan masih ada lokasi pelatihan para pejuang. Sempat jatuh di situ berkali-kali, bom-bom besar dari F16, dan konstruksi rumah sakit sampai mengayun, saking dahsyatnya,” lanjutnya.
Tidak ada pihak yang menjamin keselamatan relawan. Walaupun diliputi ketakutan dan kekhawatiran, tidak ada satupun relawan yang meminta pulang. Memang ada imbauan agar relawan keluar tetapi Edy memilih berlindung dalam bangunan setengah jadi rumah sakit. Alasannya…
“Kita secara akidah bahwa mati itu tidak akan maju, tidak akan mundur. Kita tawakal saja, pasrah, karena yang kita bangun juga rumah sakit, untuk kemanusiaan,” kata Edy.
Setelah beberapa hari perang tak juga usai, ia dan tim yang terdiri dari 20an relawan melanjutkan pekerjaan yang tertunda di sela-sela guncangan dan dentuman bom. Kesadaran bahwa rumah sakit akan sangat dibutuhkan, mendorong semangat kerja mereka.
Rumah sakit Indonesia akhirnya tuntas. Dari rencana tiga lantai, bangunan itu menjadi lima lantai. Seiring pertambahan bangunan, masa tugas Edy bertambah. Ia terus di sana meskipun rumah sakit itu tuntas, sudah dilengkapi alat-alat medis, dan sudah diresmikan wakil presiden ketika itu, Jusuf Kalla. Setelah berada di Gaza 10 tahun, Edy, usia 51 tahun, pulang. Yang membuatnya bertahan, walaupun sempat dilanda ketakutan semasa perang?
“Sederhana saja, saya ingin bermanfaat untuk orang lain,” tuturnya.
Selama bertugas di Gaza, Edy sempat pulang, menemui istri dan anak-anaknya. Ia tidak menyangka, anak pertamanya Fikri Rofi’ul Haq, akan mengikuti jejaknya.
Selepas Madrasah Aliyah, setingkat SMU, Fikri memenuhi kewajiban pondok pesantren, mengabdi pada masyarakat selama satu tahun. Setelah itu, seperti santri umumnya, Fikri mendaftar ke beberapa institusi di luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Ia mendaftar ke Sudan dan Mesir. Ia juga mendaftar menjadi relawan MER-C. Fikri kecewa karena tidak diterima di kedua institusi pendidikan yang diincar.
“Nah, alhamdulillah-nya beberapa bulan kemudian ada berita kalau saya akan diberangkatkan (ke Gaza). Jadi, ya alhamdulillah banget. Jadi, takdir gitu yang membawa saya ke sini. Tidak pernah menyangka,” tukas Fikri.
Fikri, yang ketika itu berusia 20 tahun, berangkat ke Gaza pada Februari 2020 sebelum dunia ‘lumpuh’ akibat pandemi virus corona. Di Gaza, ia sempat bertemu ayahnya. Selama beberapa bulan keduanya menjadi relawan untuk membangun rumah sakit Indonesia. Edy kembali ke Indonesia pada September 2020.
Ketakutan yang dialami Edy hampir tujuh tahun lalu dirasakan Fikri ketika Gaza dan Israel kembali terlibat perang, pertengahan Mei. “Takut banget. Hampir setiap jam kami mendengar suara roket dari pejuang Palestina. Kalau setiap malam, kami merasakan gempuran dari serangan Israel. Saat itu kami memang takut,” ujarnya.
Fikri, usia 22 tahun, dan dua pemuda relawan Indonesia, tinggal di Wisma Indonesia di sebelah rumah sakit Indonesia. Mereka tidak pernah keluar selama 11 hari agresi. Itulah pertama kali mereka mengalami langsung peperangan.
“Apalagi waktu itu yang menjadi salah satu target adalah rumah warga yang sekarang sudah rata dengan tanah, yang hanya beberapa ratus meter dari rumah sakit. Waktu itu kami sempat keluar, melihat jendela. Memang ledakannya sangat besar sampai-sampai anginnya itu membuat kuping sakit,” kenangnya.
Ketakutan dan rasa sakit tidak menggoyahkan tekad Fikri untuk bertahan di Gaza. Persis sikap ayahnya, Edy pada 2014. Ia malah berfokus menyelesaikan tugas, menyiapkan dan mendistribusi bantuan yang dipercayakan masyarakat Indonesia melalui MER-C. Ia juga memusatkan perhatian sebagai mahasiswa semester kedua pada Islamic University of Gaza. Ia bertekad baru akan pulang kalau sudah meraih sarjana.
Rima Manzanaris adalah manajer pelaksana MER-C di Jakarta. Sejauh ini, katanya, sudah dua bapak yang anaknya terjun juga sebagai relawan MER-C. Menurutnya, itu adalah suatu kebetulan. “Bapaknya memang relawan yang loyal, punya komitmen yang besar, dan ternyata anaknya juga punya keberanian,” puji Rima.
Sebelum berangkat, kata Rima, semua relawan selalu diberi gambaran mengenai situasi di lapangan dan diingatkan bahwa mereka tidak setiap saat bisa pulang. Mereka juga diharuskan mengantongi izin orang tua. “Anak-anak ini walaupun masih muda, mereka sudah siap.”
Pasca serangan bulan lalu, relawan berdatangan ke Gaza. Mereka membersihkan puing-puing ribuan rumah dan bangunan dan mencoba memperindah kembali kota di pesisir Laut Tengah itu. Fikri tentu saja ikut membantu setelah menyempatkan diri pergi ke pantai bersama pemuda setempat pasca Idul Fitri.
“Kan sekarang musim panas. Juga mereka biasanya ke pantai. Istirahat habis perang inilah, ibarat kata,” ujar Fikri.
Sementara Edy, yang terus menjadi relawan sepulangnya dari Gaza, merasa terpanggil untuk kembali ke Palestina. Bukan untuk menemui putranya melainkan membantu perluasan RS Indonesia. [ka/ab]