Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menyinggung isu pelemahan KPK dalam pidato kenegaraannya hari Selasa siang, di hadapan rapat paripurna MPR, DPR, dan DPD RI.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, kepada VOA, Selasa siang menilai persoalan KPK yang disorot oleh Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya pada rapat paripurna MPR, DPR, dan DPD RI, memang jelas sasarannya. Yaitu, apa saja yang masih dianggap bermasalah dalam upaya pemberantasan korupsi. Tetapi, kata Zainal, Indonesia saat ini lebih membutuhkan tindakan yang nyata dari pemimpinnya.
Zainal Mochtar mengatakan, “Bukan sekedar pengawasan, tetapi lebih kepada idenya. Cita-cita besarnya itu apa yang dimaksud 'penguatan dan pemberantasan korupsi dengan cara-cara luar biasa' itu, tidak dijelaskan dengan detail, sehingga kementerian merasa bebas mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Tapi, persoalannya bukan pada pidatonya, tetapi bagaimana (Presiden) SBY bisa memastikan apa yang dia perintahkan dan instruksikan itu dijalankan.”
Zainal Arifin Mochtar menduga pemerintah tidak memiliki tujuan pencapaian yang tinggi untuk KPK. Dengan kekuatan Partai Demokrat di parlemen, SBY seharusnya mampu memasukkan klausul penguatan KPK di dalam UUD 1945.
Lebih lanjut Zainal Mochtar mengatakan, “Kalau memang ada ide atau cita-cita untuk menguatkan KPK, kenapa tidak menarik KPK ke konstitusi, misalnya, menjadi lebih kuat dan permanen, tidak mudah dibubarkan. Dan, itu bisa dia (SBY) perintahkan, karena kekuatannya di parlemen 70-an persen ditambah dengan koalisinya. Ini mungkin (bisa) dilaksanakan.”
Meskipun pencapaian positif lewat skor Indeks Persepsi Korupsi sudah diraih, namun Presiden SBY menyatakan akan terus meningkatkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tanpa diskriminasi, dengan tetap mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
SBY mengatakan, “Saat ini Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita terus membaik. (Organisasi) Transparency International memberikan skor IPK 2,0 pada 2004 membaik menjadi 2,8 pada 2010. Meskipun perbaikan indeks persepsi sebesar 0,8 merupakan yang tertinggi di antara seluruh negara ASEAN, namun kita masih harus bekerja keras untuk meningkatkan indeks korupsi secara berarti di masa mendatang.”
Presiden mengakui efektivitas pemberantasan korupsi masih belum sesuai harapan. Berbagai gangguan begitu gencar menghampiri KPK. Oleh karena itu, lembaga-lembaga antikorupsi seperti KPK, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, harus sama-sama diperkuat dan didukung efektivitas kerjanya.
“Upaya untuk melemahkan KPK harus kita cegah dengan sekuat tenaga. Proses seleksi pimpinan KPK yang sekarang sedang berjalan, perlu sama-sama kita kawal agar menghasilkan Pimpinan KPK yang berintegritas dan profesional. Untuk itu, mekanisme kerja di internal KPK sendiri perlu terus disempurnakan, sehingga tetap steril dari korupsi," ujar SBY.
Pada saat yang sama, SBY juga mendorong jajaran Kejaksaan dan Kepolisian untuk terus berbenah diri dan melanjutkan reformasi. Presiden meminta agar kedua lembaga penegak hukum tersebut menjadi lembaga yang semakin berintegritas dan kredibel di depan publik.