Tautan-tautan Akses

Perubahan Iklim Dapat Tingkatkan Risiko Malaria di Dataran Tinggi Ethiopia


ARSIP - Pemandangan perkotaan di ibukota Ethiopia, Addis Ababa, 29 Januari 2017 (foto: REUTERS/Tiksa Negeri)
ARSIP - Pemandangan perkotaan di ibukota Ethiopia, Addis Ababa, 29 Januari 2017 (foto: REUTERS/Tiksa Negeri)

Perubahan iklim di dataran tinggi Ethiopia berpotensi menghilangkan perlindungan kawasan tersebut dari penularan penyakit malaria.

Dataran tinggi Ethiopia secara tradisional memiliki perlindungan alami untuk warganya yang tinggal di sana. Ketinggian lokasi dan temperatur yang sejuk bermakna bahwa malaria, penyakit yang dibawa oleh nyamuk, tidak dapat ditularkan.

Namun perubahan iklim dapat mengakhiri perlindungan tersebut. Sebuah studi baru yang dipimpin oleh peneliti di the University of Maine menemukan bahwa sejak 1981, ketinggian daerah yang dibutuhkan untuk melindungi manusia dari malaria telah meningkat 100 meter.

Untuk pertama kalinya, orang yang tinggal di dataran tinggi Ethiopia bisa jadi lebih rentan terhadap penyakit tersebut.

“Apa yang terjadi adalah kondisi, paling tidak dari segi temperatur, yang cocok untuk malaria perlahan mulai menembus daerah dataran tinggi,” ujar Bradfield Lyon dari Climate Change Institute and School of Earth and Climate Sciences yang terletak di Maine. “Hal yang sama bisa juga terjadi di dataran tinggi lainnya di seluruh daerah tropis.”

“Kondisi yang terjadi adalah adanya erosi terhadap perlindungan alam ini,” ujarnya.

Dua jenis parasit yang paling lazim ditemukan yang menyebabkan malaria di kawasan itu membutuhkan temperatur yang konsisten masing-masing di atas 18 derajat Celsius dan 15 derajat Celsius.

Studi yang dilakukan oleh Lyon menemukan temperatur di Tanduk Afrika telah meningkat rata-rata 0,2 derajat Celsius per dekade akibat adanya perubahan iklim. Ia mengatakan peningkatan suhu ini mungkin kedengarannya bukan suatu perubahan besar, namun dalam kurun waktu bertahun-tahun selama dilaksanakannya studi (1981 hingga 2014), lebih dari 6 juta orang yang dulu tinggal di kawasan yang terlindung dari malaria kemungkinan sudah kehilangan perlindungan tersebut.

Ibukota Ethiopia, Addis Ababa, yang terletak pada ketinggian 2.300 meter masih termasuk berada di atas batas ancaman malaria. Lyon mengatakan masyarakat yang berisiko terjangkit malaria adalah mereka yang tinggal pada daerah dengan ketinggian 1.200 hingga 1.700 meter.

Namun begitu, ia menekankan ini hanyalah sekedar studi meterologi. Ia belum melihat baukti bahwa mereka yang dikatakan tinggal di daerah dimaksud telah terjangkit malaria. Namun hasil penelitian itu menyebutkan hal tersebut dimungkinkan.

Ini tidak berarti orang-orang ini, dengan demikian, akan terjangkit malaria. Hasil studi itu hanya menyatakan bahwa perubahan iklim secara perlahan meningkatkan risikonya apabila kita tidak memperhitungkan faktor-faktor lainnya,” ujar Lyon. “Maksud saya harapannya adalah melalui intervensi dan sebagainya yang dapat kita lakukan justru akan dapat memberantas malaria di kawasan ini dan kawasan lainnya di daerah tropis.”

Pada tahun 2015, sekitar 212 juta orang di seluruh dunia jatuh sakit akibat malaria dimana angka kematian berada di sekitar 429.000 orang menurut WHO. Sekitar sembilan per sepuluh dari kasus dan kematian yang terjadi berada di kawasan sub-Sahara Afrika.

Di seluruh dunia, sekitar 214 juta orang jatuh sakit akibat malaria setiap tahunnya dan 438.000 orang menemui kematian, menurut the Centers for Disease Control and Prevention. Mereka yang paling rentan adalah anak-anak yang tinggal di kawasan sub-Sahara Afrika. [ww]

XS
SM
MD
LG