Satu dari kawasan di Afrika yang paling kering – Sahel – dapat berubah jadi hijau apabila suhu planet meningkat lebih dari 2 derajat Celsius dan menyebabkan curah hujan deras yang lebih sering, ujar para ilmuwan hari baru-baru ini.
Kawasan Sahel terbentang dari pantai ke pantai, dari Mauritania dan Mali di barat ke Sudan dan Eritrea di timur, dan berbatasan dengan sisi selatan gurun Sahara. Kawasan ini adalah tempat tinggal lebih dari 100 juta orang.
Kawasan ini telah menjadi saksi dari iklim ekstrim yang semakin memburuk – termasuk bencana kekeringan yang semakin sering – pada tahun-tahun belakangan ini.
Namun apabila emisi gas rumah kaca terus tidak terkendali, pemanasan global yang terjadi – apabila lebih dari 2 derajat Celsius di atas tingkat era pra-industri – dapat mengubah pola udara inti di kawasan Sahel, dan di banyak bagian dunia, ujar kalangan ilmuwan.
Model curah hujan bervariasi
Beberapa model cuaca memprediksi adanya sedikit peningkatan dalam curah hujan untuk kawasan Sahel, namun ada risiko bahwa seluruh pola cuaca akan berubah pada akhir abad ini, ujar para peneliti di Postdam Institute for Climate Impact Research (PIK).
“Total kemungkinan perubahannya menakjubkan – ini adalah satu dari sedikit elemen di sistem kebumian yang tidak lama lagi kita saksikan puncaknya,” ujar salah satu peneliti Anders Levermann dari PIK dan the Lamont-Doherty Earth Observatory di Columbia University New York.
Apabila curah hujan di kawasan Sahel menjadi sangat tinggi, artinya akan tersedia lebih banyak air untuk pertanian, industri, dan penggunaan rumah tangga. Namun pada beberapa tahun pertama transisi, kemungkinan orang akan menyaksikan pola cuaca yang sangat kacau – cuaca ekstrim diikuti dengan banjir yang merusak, ujar para peneliti.
Susah bagi orang untuk merencanakan
Tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi membuatnya sulit bagi orang untuk merencanakan terkait dengan berbagai perubahan yang akan muncul, ujar mereka.
“Perubahan besar yang mungkin akan kita saksikan jelas-jelas akan menimbulkan tantangan yang besar agar penduduk di kawasan Sahel dapat beradaptasi,” ujar Levermann.
“Lebih dari 100 juta orang berpotensi untuk terkena dampaknya dimana saat ini mereka sudah dihadapkan dengan beragam ketidakstabilan, termasuk perang yang berkecamuk,” ujarnya.
Kawasan ini menghadapi serangkaian konflik, termasuk beberapa yang didorong oleh kelompok-kelompok semacam Boko Haram dan al-Qaeda di negara-negara Islam kawasan Maghreb.
Kalangan peneliti mempelajari pola curah hujan di bulan-bulan Juli, Agustus, dan September dimana kawasan itu mengalami curah hujan yang paling tinggi dalam periode satu tahun.
'Serangkaian hasil yang mungkin diperoleh’
“Ada serangkaian kemungkinan hasil yang akan diperoleh masyarakat di kawasan Sahel yang tergantung iklim yang akhirnya berkembang … dan apakah mereka siap untuk menghadapi fluktuasi iklim tersebut,” ujar peneliti utama, Jacob Schewe, dari PIK, kepada Thomson Reuters Foundation.
Perubahan iklim akibat konsumsi bahan bakar yang bersumber dari fossil “sungguh-sungguh memiliki kekuatan untuk menimbulkan perubahan besar,” ujarnya.
“Perubahan iklim ini meningkatkan risiko pada hasil panen di banyak kawasan dan umumnya meningkatkan kejadian cuaca ekstrim di seluruh dunia,” imbuhnya.
Studi ini dipublikasikan baru-baru ini dalam Earth System Dynamics, sebuah jurnal dari the European Geosciences Union. [ww]