Keputusan impor itu diambil untuk mengamankan pasokan beras nasional dalam beberapa minggu ke depan. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan beras yang akan diimpor adalah jenis khusus yang tidak ditanam di Indonesia. Karena jenisnya khusus, diharapkan beras impor tidak akan mengganggu harga beras petani.
Namun para petani berpendapat berbeda. Wawan Setiawan, Koordinator Komunitas Petani Padi MSP Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, tegas menolak keputusan itu. Wawan mengatakan petani baru menikmati harga bagus satu kali panen saja, yaitu padaSeptember-Oktober tahun lalu. Sebelum itu, harga beras di tingkat petani hanya berada pada kisaran 7.000 IDR- 7.500 IDR per kilogram Akhir tahun lalu, harga beras tingkat petani naik hingga 11.500 IDR per kilogram.
“Sebaiknya jangan dulu, lah. Kasihan petani-petani yang ada di bawah ini. Sebentar lagi, petani ini mulai akan panen lagi. Apalagi petani khususnya di wilayah sekitar saya ini rata-rata menanam padi dan saat ini sedang menikmati harga itu. Tahu-tahu kok mau impor, kan otomatis harganya nanti akan turun lagi,”kata Wawan.
Wawan mengingatkan pemerintah bahwa petani kini juga menghadapi masalah tingginya harga pupuk. Jika impor dilakukan dan harga beras anjlok, menurut dia, petani akan menghadapi dua persoalan berat pada saat bersamaan.
“Pupuk ZA yang merah sulit sekali dicari, adanya yang warna putih. Padahal harganya terlalu tinggi buat petani,” kata Wawan menambahkan.
Agus Subagyo dari organisasi tani Omah Tani Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, juga menilai keputusan pemerintah keliru. Indonesia sedang surplus beras saat ini, dan petani menunggu masa panen raya yang akan dimulai bulan depan. Dalam posisi ini, kata dia, Indonesia sama sekali tidak membutuhkan tambahan pasokan beras. Agus menduga, impor ini diminta oleh kalangan industri berbahan baku beras, yang tidak mau membeli beras petani dalam negeri karena harganya relatif tinggi.
“Beras di republik kita ini sudah surplus, itu baru untuk Masa Tanam (MT) pertama, belum MT kedua dan ketiga itu akan lebih surplus lagi. Kualitas beras sudah bagus, produksinya di sawah juga sudah bagus. Jadi, ketika ada kebutuhan untuk industri berbahan baku beras itu, kok, kemudian terus mengimpor, itu salah besar. Menteri Perdagangan harus mengevaluasi, presiden juga harus berani mengambil keputusan untuk melarang impor,”kata Agus.
Kementerian Pertanian luas tanam padi nasional periode Juli - September 2017 mencapai 1,1 juta hektare per bulan. Dengan luasan itu, panen pada Desember mampu menghasilkan 6 juta ton gabah kering giling atau 3 juta ton beras. Angka itu akan bertambah dalam beberapa bulan ke depan, karena petani padi sedang dalam periode panen raya. Di periode panen raya, luas panen padi bisa mencapai 1,7 juta hektar per bulan. Dengan kebutuhan konsumsi nasional 2,6 juta ton per bulan, ada surplus 0,4 juta ton.
Yogyakarta sendiri sedang berada dalam masa produktif beras hingga Maret mendatang. Lebih dari 31 ribu hektar sawah bergiliran akan panen, dengan hasil rata-rata 8 ton gabah per hektarnya. Pemerintah daerah bahkan meyakini, DIY akan terus surplus beras hingga pertengahan tahun ini.
Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta adalah salah satu wilayah yang mulai menggelar panen raya padi bulan ini. Dengan wilayah yang subur di kaki Gunung Merapi dan pasokan air teratur, Sleman mampu memenuhi kebutuhan beras di tingkat lokal. Kelebihan produksinya juga dikirim ke berbagai daerah lain secara rutin.
Bupati Sleman Sri Purnomo secara tegas menolak rencana pemerintah mengimpor beras akhir bulan ini. Tindakan itu, menurut dia, akan memukul petani. Januari ini, Sleman akan memanen padi di lahan seluas 2.600 hektar. Luasan itu akan bertambah di masa panen raya bulan depan.
“Kenaikan harga beras itu hanya sesaat, jangan sampai ketika ada kenaikan harga yang hanya sesaat ini kita langsung melakukan impor. Kalau impor, harga beras akan turun, nanti petani akan susah,” kata Sri Purnomo.
Pemerintahan Jokowi telah menerapkan banyak program untuk menjaga produksi padi. Petani disarankan tetap menanam padi pada musim pering ,merehabilitasi jaringan irigasi tersier untuk 3,4 juta hektar lahan, menambah luas lahan tanam 1 juta hektar, membangun lebih dari 2 ribu dam atau embung, mengembangkan lahan rawa seluas 367 ribu hektar, dan memperbaiki mekanisasi pertanian.