Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu dinilai belum bisa mengakomodasi hak pilih bagi warga negara penyandang disabilitas mental.
Ketua Pehimpunan Jiwa Sehat (PJS) Yeni Rosa Damayanti mengatakan, masih banyak penyandang disabilias mental yang tidak didaftarkan oleh KPU dalam Pemilu, baik itu Pemilihan Legislatif (Pileg),maupun di Pemilihan Presiden (Pilpres), sehingga ribuan peyandang disabilitas mental ini kehilangan hak pilihnya.
Hal ini dia kemukakan, dalam Diskusi Upaya Memastikan Hal Pilih Semua Warga Negara dalam Pemilu 2019 termasuk Penyandang Disabilitas Psikososial, di Media Center Bawaslu RI, Jumat (24/8).
Yeni mencontohkan, dalam Pilpres 2014 lalu, hanya sekitar 2.000 penyandang disabilitas mental yang bisa menggunakan hak pilih dari jumlah belasan ribu yang merupakan penghuni panti rehabilitas dan panti sosial, serta penghuni Rumah Sakit Jiwa di beberapa daerah di Indonesia.
"(Tahun) 2014 yang terfasilitasi masih sangat sedikit. Yang sudah terfasilitasi, baik di panti maupun di RS Jiwa perkirakan sekitar 2.000 orang," jelasnya.
Hal tersebut, sangat disayangkan oleh Yeni, mengingat berdasarkan Undang-Undang Disabilitas, mereka seharusnya dijamin penuh untuk memilih dalam Pemilu, tanpa pengecualian.
Menurut Yeni, hal ini terjadi karena masih kurangnya pemahaman dari masyarakat terutama penyelenggara pemilu bahwa penyandang disabilitas mental ini punya hak pilih yang sama seperti WNI pada umumnya. Selain itu, faktor kelengkapan dokumen seperti Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau E-KTP yang tidak dimiliki oleh penyandang disabilitas mental ini menjadi penyebab tidak adanya mereka dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Yang dibutuhkan adalah pemahaman bahwa mereka memiliki hak , dan tapi juga niat untuk memastikan bahwa mereka bisa didaftar. Itu saja. Tidak ada kebutuhan, keperluan, atau keterampilan khusus untuk mendampingi, atau mendaftar orang-orang dengan disabilitas mental. Jadi yang dibutuhkan adalah pengetahuan, pemahaman bahwa mereka memiliki hak, haknya ada di dalam undang-undang dan bahwa sebagai penyelenggara mereka wajib mendaftarkan mereka," lanjut Yeni.
Dalam Kesempatan yang sama, Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan persoalan ini menjadi Pekerjaan Rumah tersendiri bagi KPU. Sejauh ini yang bisa dilakukan oleh Bawaslu adalah mengeluarkan rekomendasi kepada KPU untuk menunda penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) di 50 kabupaten/kota di Indonesia untuk Pilpres nanti.
Hal ini juga dilakukan agar hak pilih semua WNI termasuk penyandang disabilitas mental ini bisa mendapatkan hak pilih mereka dalam Pilpres dan Pileg di 2019 nanti.
Selain itu, menurut Abhan, KPU akan dikenai sanksi apabila mengabaikan rekomendasi dan tetap tidak mendaftarkan para penyandang disabilitas mental tersebut. Sangsinya pun tidak main-main. KPU bisa dikenai sanksi Pidana.
"Sanksi: Ada dua sanksi, pertama dari sanksi etik, bisa masuk pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, kategori kurang professional atau tidak professional, dan juga bisa masuk dugaan pelanggaran pemilu. Ada ketentuan di pasal 510, setiap orang yang dengan sengaja yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun," kata Abhan. [gi/lt]