Perdana Menteri Libya yang didukung Barat, Abdullah al-Thinni mengatakan, ia bersedia menandatangani persetujuan pembagian kekuasaan dengan kelompok Islamis yang telah mendirikan pemerintah tandingan di Tripoli.
Thinni mengatakan dalam kunjungan di Malta hari Rabu (1/7) bahwa “rakyat Libya yang baik budi dan bijaksana” menghendaki solusi terhadap kekacauan dan ketidakpastian politik yang sudah lama berlangsung di negara itu. Tetapi ia mengatakan ia memahami bahwa “ setiap keputusan yang diambil akan selalu mempunyai musuh.”
Utusan khusus PBB Bernardino Leon telah mengalami kesulitan selama beberapa bulan ini untuk mengusahakan kedua pihak menyepakati persetujuan yang akan memberi wewenang kepada masing-masing pihak sementara menghadapi ancaman dari militan Negara Islam (ISIS).
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan pernyataan hari Rabu yang menekankan bahwa tidak boleh ada solusi militer di Libya, dan akan mengenakan sanksi terhadap siapapun yang mengancam “perdamaian, kestabilan dan keamanan Libya atau yang merongrong penyelesaian terakhir transisi politiknya.”
Libya telah mengalami kekerasan dan kerusuhan sejak diktator yang lama berkuasa Moammar Gadhafi digulingkan tahun 2011.
Kaum Islamis mengambil alih ibukota Tripoli tahun lalu dan membentuk pemerintah dan parlemen mereka sendiri, yang memaksa pemerintahan Perdana Menteri Thinni yang diakui internasional melarikan diri ke kota Tobruk di bagian timur.