Korupsi di Indonesia merupakan kejahatan luar biasa. Meskipun ada badan anti rasuah sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gencar melakukan berbagai operasi, Indeks Persepsi Korupsi 2016 yang dikeluarkan Transparency International menempatkan Indonesia peringkat ke-90 dari 176 negara.
Menyadari begitu mewabahnya korupsi di tanah air, yang terjadi di beragam instansi pada berbagai level, mulai menteri, kepala daerah, hingga pegawai negeri biasa, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berinisiatif untuk membentuk Detasemen Khusus Antikorupsi.
Rencana pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi tersebut juga dilatarbelakangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak mungkin mencegah dan menangani sendiri kasus korupsi yang begitu marak di tanah air. Gagasan membentuk Detasemen Khusus Antikorupsi ini juga sudah disetujui oleh Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam rapat kerja dengan Komisi III yang berlangsung di gedung MPR/DPR, Kamis (12/10), Kepala Polri jenderal Tito Karnavian mengatakan Detasemen Khusus Antikorupsi itu dibentuk untuk memperkuat penanganan terhadap korupsi yang terjadi di Indonesia. Detasemen Khusus Antikorupsi ini akan dipimpin oleh jenderal bintang dua yang kedudukannya berada langsung di bawah Kapolri.
Lebih lanjut Tito mengatakan Detasemen Khusus Antikorupsi itu akan memiliki 3.560 personel. Ia berharap sistem penggajian dan anggaran untuk penyelidikan disamakan dengan KPK.
"Anggaran setelah kita hitung, belanja pegawai untuk 3.560 personel mencapai Rp 786 miliar, belanja barang artinya untuk operasional sebesar Rp 359 miliar, sedangkan belanja modal Rp 1,55 triliun, termasuk pembentukan sistem dan kantor, pengadaan alat-alat untuk penyelidikan, pengintaian, dan lain-lain. Semuanya menjadi lebih kurang Rp 2,6 triliun," ujar Tito.
Menurut Tito, Polri sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai rencana pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi itu. Ia juga telah melaporkan hal ini ini kepada Presiden Joko Widodo.
Tito meminta kepada Komisi III DPR untuk mendukung pemerintah guna mempercepat proses pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi, yang direncanakan beroperasi mulai Januari tahun 2018.
Tito mengatakan tanpa mengurangi kewenangan kejaksaan, dia meminta tim kecil dari Kejaksaan Agung untuk bekerja erat dengan Detasemen Khusus Antikorupsi guna penuntutan, sehingga tidak perlu melewati prosedur birokrasi yang rumit. Polri tambahnya akan tetap bersinergi dengan KPK.
Tito menegaskan dalam kerjanya nanti Detasemen Khusus Antikorupsi tidak akan tumpang tindih dengan KPK, dan justru akan saling berbagi tugas dalam menangani kasus korupsi.
Tito menekankan Detasemen Khusus Antikorupsi yang akan dibentuk Polri bukanlah pesaing bagi KPK. Bahkan dengan kolaborasi antara KPK, Detasemen Khusus Antikorupsi, dan kejaksaan maka penanganan korupsi di Indonesia akan makin masif dan kuat.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Mulyadi mengatakan Detasemen Khusus Antikorupsi akan dibentuk Polri memerlukan anggaran memadai agar bisa bekerja dengan maksimal.
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah mengatakan lembaganya mendukung rencana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Menurutnya pemberantasan korupsi akan semakin maksimal jika Polri dan Kejaksaan semakin kuat.
Hal yang sama juga diungkapkan Aktivis Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho. Menurutnya KPK tidak akan mungkin mampu menyelesaikan kasus korupsi se-Indonesia yang sangat masif terjadi.
ICW berharap KPK nantinya bisa saling berbagi tugas dengan kepolisian untuk menangani kasus korupsi di Indonesia. KPK tambahnya bisa memprioritaskan perkara-perkara yang skalanya sangat besar tetapi yang tidak terjangkau oleh KPK bisa diselesaikan oleh Densus Tipikor.
"Kenapa kami setuju? Kita bisa memahami kerja-kerja KPK terbatas dia hanya ada di Jakarta, institusi Polri dari sabang sampai Merauke ada. Kedua kita bisa memahami, SDM di kepolisian cukup lebih banyak dari yang ada di KPK. Secara struktural, penanganan korupsi di Mabes polri sekarang ini berada di Direktorat III Tipikor di Bareskrim. Direktorat III bertanggung jawab pada Bareskrim, Bareskrim ke Kapolri. Proses koordinasi, upaya percepatan korupsi yang ada seringkali terhambat. Kalau densus itu langsung ke Kapolri," papar Emerson.
Data di Mahkamah Agung menunjukkan sepanjang tahun 2016 lalu, kasus korupsi yang ditangani lembaga peradilan berjumlah 453 perkara, terbanyak kedua setelah kasus narkotik yang mencapai 800 perkara.
Sedangkan data dari Indonesia Corruption Watch menyebutkan selama tahun lalu aparat penegak hukum menangani 482 perkara korupsi yang melibatkan 1.101 tersangka dengan kerugian negara mencapai Rp 1,45 triliun. [fw/em]