Sejumlah kasus korupsi raksasa di Indonesia, seperti kasus Hambalang dan korupsi e-KTP, diwarnai dengan peran aktif Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam kasus Hambalang, PT Adhi Karya selaku perusahaan konstruksi memegang peranan penting. Sedangkan dalam korupsi e-KTP, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) terlibat aktif berbagi dana haram dalam proyek senilai Rp 5,95 triliun itu. Perusahaan milik negara ini bersekongkol dengan politisi, menteri, pegawai pemerintah dan pihak swasta dalam mencuri uang rakyat.
Keterlibatan BUMN dalam korupsi adalah ironi tersendiri. Pengamat hukum yang juga pendiri Insitut untuk Reformasi Badan Usaha Milik Negara, Dr. Miko Kamal menilai BUMN sebenarnya bisa berbisnis tanpa kongkalikong korupsi. Karena menjadi milik negara, BUMN dapat bermain bersih dalam sektor-sektor usaha, terutama dalam proyek tertentu yang Setditugaskan secara khusus oleh pemerintah. Kuncinya adalah adanya keinginan politik untuk menjamin kinerja BUMN yang bebas dari praktik korupsi.
“Keterlibatan Badan Usaha Milik Negara ini memang sangat disayangkan. Seharusnya sebagai BUMN yang memiliki banyak kemudahan dibanding perusahaan swasta, BUMN harus menjadi pelopor anti korupsi, yang berhubungan dengan sektor dunia usaha. Bukan sebaliknya justru terlibat dalam perkara korupsi,” ujar Dr. Miko Kamal.
Kamal yang juga pengajar di Universitas Bung Hatta, Sumatera Barat ini mengakui sejak lama BUMN dimanfaatkan oleh kekuatan politik yang berkuasa. Biasanya, presiden yang terpilih akan menempatkan sejumlah orang yang dulu tergabung di dalam tim suksesnya selama kampanye, untuk duduk sebagai komisaris BUMN. Ini adalah praktik pengisian jabatan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Namun, sebenarnya praktik itu juga memiliki potensi manfaat, di mana presiden bisa mengawasi kinerja BUMN melalui orang-orang yang diberi jabatan komisaris. Syaratnya, orang kepercayaan presiden di masing-masing BUMN dapat bekerja dengan baik dan menjalankan praktik bisnis bersih.
“Kalau ada BUMN menjadi pemenang tender dalam sebuah proyek, lalu ada oknum-oknum nakal baik dari pemerintah, legislatif maupun penegak hukum mau bermain tidak baik, BUMN sebagai perusahaan milik negara tinggal bilang ke Presiden atau menteri, lalu kemudian presiden atau menteri bisa meyelesaikan itu,” imbuh Dr. Miko Kamal.
Kamal mendesak DPR dan pemerintah serius membahas RUU BUMN. Rancangan undang-undang ini masih terhenti di DPR sebagai pengusul, karena pembahasannya selalu dikembalikan oleh Badan Legislasi DPR. Nampaknya, faktor politik cukup dominan karena RUU BUMN akan menjadi pondasi untuk mengatur praktik bisnis perusahaan negara itu ke depan.
Mencuatnya kasus korupsi e-KTP menambah keyakinan bahwa kalangan politisi memang terbiasa memanfaatkan BUMN untuk mengeruk dana haram.
Popularitas dan tingkat kepercayaan masyarakat pada DPR anjlok, apalagi setelah ketua lembaga ini, Setya Novanto, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus e-KTP. Keputusan membentuk Panitia Khusus Hak Angket KPK menambah buruk persepsi masyarakat terhadap DPR.
Dr. Andi Ali Armunanto, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar mengaku bisa memahami sikap masyarakat. Tentu dipertanyakan, bagaimana mungkin sebuah lembaga seperti DPR yang dikenal korup justru mengaku ingin membersihkan lembaga paling dipercaya publik seperti KPK. Namun pada sisi yang lain, Armunanto memandang pembentukan Pansus ini adalah kerja politik biasa dari DPR. Undang-undang memberi kewenangan kepada DPR membentuk Pansus dan juga menjamin Hak Angket.
Presiden, tambah Armunanto, harus bisa menjelaskan kepada publik mengenai proses politik ini. Pada sisi lain, lebih realistis bagi masyarakat untuk terus mendukung KPK membersihkan korupsi, terutama pada kasus besar seperti korupsi e-KTP kali ini yang merupakan persekongkolan politisi, aparat negara, perusahaan negara dan pihak swasta.
“Saya pikir eksekutif dan legislatif punya kewenangan masing-masing. Kalaupun presiden diminta mengambil tindakan, sejauh tindakan itu tidak melangkahi kewenangan DPR, seperti pembubaran Pansus. Karena itu bukan wilayah kewenangannnya.
Yang bisa dilakukan oleh presiden adalah memberikan penyataan yang meluruskan wacana dalam masyarakat. Presiden bisa mengatakan bahwa tugas DPR memang untuk mengawasi lembaga negara dan tugas KPK adalah mengurusi kasus korupsi yang merugikan keuangan negara,” pungkas Dr. Andi Ali Armunanto. [ns/lt]