Dunia politik di tanah air kemarin geger setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Setya Novanto, Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golongan Karya, menjadi tersangka pada kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik.
Dalam keterangan persnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan Setya terlibat mulai dari perencanaan, pembahasan anggaran, serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek KTP elektronik yang merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun dari pagu anggaran Rp 5,9 triliun.
Setya dan pimpinan DPR lainnya pada Selasa (18/7) memberi keterangan pers pertama soal penetapan dirinya sebagai tersangka perkara rasuah di gedung MPR/DPR. Dalam penjelasannya, Setya tidak membuat pernyataan akan mundur dari kursi ketua badan legislatif tersebut.
Setya menambahkan jumpa pers itu digelar setelah pimpinan DPR menggelar rapat bersama dengan Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR.
"Saya menghargai proses hukum yang ada. Sebagai warga negara yang baik, saya mengikuti dan taat pada proses hukum seusia undang-undang yang berlaku dan saya sampai hari ini belum menerima putusan tersebut. Saya tadi pagi sudah mengirimkan surat kepada pimpinan KPK untuk segera dikirim putusan saya sebagai tersangka," kata Setya.
Lebih lanjut Setya mengatakan dirinya baru akan menentukan langkah berikut setelah menerima surat penetapan sebagai tersangka dan berkonsultasi dengan tim kuasa hukumnya.
Setelah mengetahui statusnya tersebut, tambah Setya, dirinya telah mengumpulkan seluruh keluarganya, untuk diberi penjelasan mengenai perkara itu. Dia menegaskan tuduhan dirinya menerima uang suap dalam proyek KTP elektronik tidak benar.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menambahkan sesuai Undang-undang MD3 adalah hak dari setiap anggota DPR yang sedang menjalani proses hukum untuk tetap menjadi anggota DPR sampai proses hukum itu mencapai putusan akhir atau sudah berkekuatan hukum tetap.
"Dalam persoalan di pimpinan, sejauh tidak ada perubahan dari partai atau fraksi sebagai perpanjangan partai politik yang mengusung, maka tidak akan ada perubahan juga dalam konfigurasi kepemimpinan di DPR RI. Sehingga boleh disimpulkan bahwa pimpinan DPR RI tetap seperti sekarang ini," ujar Fadli.
Sementara, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun mengingatkan kepada pimpinan DPR untuk senantiasa menjaga harkat dan martabat lembaga tinggi negara tersebut. Dia menegaskan bila Setya Novanto tetap bertahan sebagai ketua DPR maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif ini akan kian merosot.
"Kita minta komitmen untuk sama-sama melindungi DPR secara kelembagaan. Tentu saja kita juga tidak mau karena korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, kemudian lembaga menjadi semakin berat. Masyarakat tidak percaya kepada DPR akan semakin menjadi-jadi," tegas Tama.
Ketua Badan Keahlian DPR Johnson Rajagukguk menjelaskan dalam pasal 87 Undang-undang nomor 17 tahun 2014 (Undang-undang MD3) disebutkan pimpinan DPR diberhentikan dengan tiga alasan. Pertama, meninggal. kedua, mengundurkan diri. Ketiga, diberhentikan.
Johnson menambahkan kalau pimpinan DPR tersangkut kasus hukum maka sesuai pasal 87 ayat (2), pemberhentian itu bisa dilakukan bila ada putusan dinyatakan bersalah yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan pidana dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih.
Johnson menekankan karena status Setya masih tersangka, maka jabatannya sebagai ketua DPR tidak terpengaruh.
Berdasarkan surat dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, atas jasanya dalam perencanaan, pembahasan anggaran di DPR, dan proses pengadaan barang serta jasa, Setya mendapat jatah duit proyek sebesar Rp 574,2 miliar. Fulus proyek juga mengalir ke mantan Ketua DPR marzuki Alie senilai Rp 20 miliar dan bekas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebanyak Rp 43,65 miliar. [fw/ii]