JAKARTA —
Lembaga swadaya masyarakat Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meninjau ulang serta mencabut seluruh keputusan presiden tentang pemberian grasi yang telah diberikan kepada semua terpidana narkoba baru-baru ini.
Presiden telah memberikan grasi kepada sejumlah terpidana mati kasus narkoba, salah satunya Meirika Franola alias Ola. Menyusul pemberian grasi tersebut, Ola diduga mengatur transaksi peredaran narkoba dari balik jeruji penjara.
Sekretaris Jenderal Granat Ashar Suryobroto mengatakan peristiwa ini menunjukkan sindikat kejahatan narkotika telah berhasil mengelabui bangsa, penegak hukum dan bahkan kepala negara.
“Orang ini punya duit besar, kalau yang namanya sindikat punya duit besar itu. Dia bisa mempengaruhi siapa saja, kita menduga sampai ke sana dan ini bagian dari kejahatan terorganisir sampai pada penyusupan-penyusupan kepada aparat lembaga penegak hukum,” ujar Ashar.
Dugaan keterlibatan Ola dalam kasus penyelundupan narkoba dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang tercium setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap seorang wanita berinisial NA yang membawa 775 gram shabu di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, awal Oktober 2012 lalu.
NA diduga menjadi kurir yang bertugas mengambil paket shabu dari India. Kepada petugas NA mengaku diminta melakukan tugas itu oleh Ola yang dikenalnya melalui telpon dengan iming-iming upah sebesar Rp 20 juta.
Berkat Grasi yang diperolehnya September tahun lalu, hukuman Meirika Franola alias Ola akhirnya dikurangi dari hukuman mati menjadi seumur hidup.
Setelah peran Ola mengotaki transaksi narkoba dari balik penjara ini terungkap, Presiden langsung menyatakan akan mempertimbangkan mencabut grasinya bagi Ola.
Meski demikian Presiden menolak disalahkan, menurutnya pemberian grasi bagi Ola sudah konstitusional, seperti ditegaskan Menteri Koordinator Politik hukum dan keamanan Djoko Suyanto.
“Kemungkinan besar akan dicabut, hanya bagaimana mekanismenya. Kalau orang diberikan grasi itu kan diberikan pengampunan atas permintaan yang bersangkutan. Berarti yang bersangkutan minta ampun, mengakui kesalahannya dan mestinya tidak berbuat lagi. Siapapun kalo ulangi kesalahan yang sama, ya bisa dipertimbangkan kembali grasi itu kan tidak sesuai dengan maksudnya memberikan grasi itu ya,” ujar Djoko.
Selain kepada Meirika Franola, Presiden SBY juga memberi grasi kepada rekan Ola lainnya, Deni Setia Maharwan. Bersama satu rekan lainnya, mereka tertangkap ketika hendak menyelundupkan kokain dan heroin seberat 3,5 kilogram sesaat sebelum berangkat dengan pesawat Cathay Pasific menuju London, Inggris, pada 12 Januari 2000.
Presiden telah memberikan grasi kepada sejumlah terpidana mati kasus narkoba, salah satunya Meirika Franola alias Ola. Menyusul pemberian grasi tersebut, Ola diduga mengatur transaksi peredaran narkoba dari balik jeruji penjara.
Sekretaris Jenderal Granat Ashar Suryobroto mengatakan peristiwa ini menunjukkan sindikat kejahatan narkotika telah berhasil mengelabui bangsa, penegak hukum dan bahkan kepala negara.
“Orang ini punya duit besar, kalau yang namanya sindikat punya duit besar itu. Dia bisa mempengaruhi siapa saja, kita menduga sampai ke sana dan ini bagian dari kejahatan terorganisir sampai pada penyusupan-penyusupan kepada aparat lembaga penegak hukum,” ujar Ashar.
Dugaan keterlibatan Ola dalam kasus penyelundupan narkoba dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang tercium setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap seorang wanita berinisial NA yang membawa 775 gram shabu di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, awal Oktober 2012 lalu.
NA diduga menjadi kurir yang bertugas mengambil paket shabu dari India. Kepada petugas NA mengaku diminta melakukan tugas itu oleh Ola yang dikenalnya melalui telpon dengan iming-iming upah sebesar Rp 20 juta.
Berkat Grasi yang diperolehnya September tahun lalu, hukuman Meirika Franola alias Ola akhirnya dikurangi dari hukuman mati menjadi seumur hidup.
Setelah peran Ola mengotaki transaksi narkoba dari balik penjara ini terungkap, Presiden langsung menyatakan akan mempertimbangkan mencabut grasinya bagi Ola.
Meski demikian Presiden menolak disalahkan, menurutnya pemberian grasi bagi Ola sudah konstitusional, seperti ditegaskan Menteri Koordinator Politik hukum dan keamanan Djoko Suyanto.
“Kemungkinan besar akan dicabut, hanya bagaimana mekanismenya. Kalau orang diberikan grasi itu kan diberikan pengampunan atas permintaan yang bersangkutan. Berarti yang bersangkutan minta ampun, mengakui kesalahannya dan mestinya tidak berbuat lagi. Siapapun kalo ulangi kesalahan yang sama, ya bisa dipertimbangkan kembali grasi itu kan tidak sesuai dengan maksudnya memberikan grasi itu ya,” ujar Djoko.
Selain kepada Meirika Franola, Presiden SBY juga memberi grasi kepada rekan Ola lainnya, Deni Setia Maharwan. Bersama satu rekan lainnya, mereka tertangkap ketika hendak menyelundupkan kokain dan heroin seberat 3,5 kilogram sesaat sebelum berangkat dengan pesawat Cathay Pasific menuju London, Inggris, pada 12 Januari 2000.