Suara gergaji mesin dan alat penggali yang menggaru tanah yang keras mengalahkan suara-suara burung dan siamang yang bergerombol di beberapa lahan hutan yang masih tersisa di sini.
Kalimantan Barat adalah daerah terpencil dengan pengawasan pemerintah yang minim, sambungan telepon yang kadang tidak berfungsi, jalan-jalan yang rusak, dan desa-desa miskin dengan sekolah dan layanan kesehatan yang terbatas.
Para petani telah merusak tanah karena membuka lahan pertanian dengan cara membabat dan membakar hutan. Sekarang, perusahaan-perusahaan berusaha mencari cadangan-cadangan mineral dan wilayah-wilayah hutan yang masih tersisa.
Di Lamon Satong, dua perusahaan memperebutkan lahan untuk dikembangkan. Salah satunya adalah perusahaan minyak kelapa sawit PT Kayung Agro Lestari (PT KAL), yang lainnya Laman Mining.
Mohamad Akhir bin Man, pengelola utama PT KAL, mengatakan kedua perusahaan itu tidak bisa mencapai kata sepakat.
“Surat izin kami tumpang tindih dengan lahan milik Laman Mining dan mereka nampaknya bekerja sendiri tanpa memberitahu bahwa mereka akan ke sini, apalagi minta izin,“ ujar Mohamad.
PT KAL ingin menggunakan konsesi lahan seluas 18.000 hektar untuk program perdagangan karbon yang didukung PBB. Rencana itu memungkinkan negara-negara maju membayar negara-negara berkembang yang berhutan lebat untuk mengurangi emisi karbon mereka dengan mempertahankan pohon-pohon di hutan.
Perusahaan itu dan para investor internasional bersama-sama menghabiskan 200.000 dolar meneliti lahan itu untuk menentukan kelaikannya bagi usaha perdagangan karbon.
Laman Mining ingin menambang bauksit, bijih mineral utama untuk membuat alumunium. Apabila perusahaan itu mulai melakukan penggalian, itu akan menghalangi upaya menjadikan hutan itu sebagai lahan perdagangan karbon.
Kelompok-kelompok pecinta lingkungan mengatakan konflik seperti ini semakin sering, dengan kurangnya lahan subur dan desakan untuk mengklaim dan mengembangkan sumber-sumber alam. Mereka menuding peraturan penetapan wilayah yang tidak tegas dan para pejabat daerah yang ingin mendapat keuntungan dari kontrak-kontrak penggunaan tanah.
Aditya Bayunanda, juru kampanye hutan pada World Wildlife Fund mengatakan, “Surat izin yang tumpang tindih, suart izin yang tidak dimanfaatkan ada di mana-mana. Surat izin itu bahkan menjadi penghalang bagi investor yang lebih bertanggungjawab, orang-orang yang ingin berinvestasi melakukan perkebunan yang baik tanpa perlu membuka hutan.”
Para pejabat mengatakan mereka berupaya mengubah model hutan dari yang dieksploitasi menjadi yang dilindungi. Tetapi di wilayah-wilayah miskin Indonesia, daya tarik penciptaan lapangan kerja yang sangat dibutuhkan bisa mengalahkan perlindungan hutan.