Dalam keterangan pers usai sidang kabinet terbatas di kantor Presiden, Senin siang, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menjelaskan bahwa anggaran sebanyak Rp99 Triliun tersebut, ditujukan untuk biaya perawatan dan pembelian alat utama sistem senjata hingga tahun 2014.
“Pada prinsipnya program modernisasi alutsista ini ingin melihat selama 5 tahun apa yang akan kita bangun dan kembangkan, pertama dilihat 3 (tiga) sisi. Sisi pertama, alutsista ini diproduksikan oleh siapa, apakah dalam negeri, luar negeri, atau bisa dilakukan joint production dan kalau itu dilakukan dengan join production itu berapa lama dan sebagainya. Dan itu dilakukan dengan impor Luar Negeri, apakah kemudian bisa dilakukan dengan offset (transfer teknologi kita dapat nilai tambah),” demikian menurut Purnomo Yusgiantoro.
Menteri Purnomo menambahkan, prioritas kebutuhan dari ketiga Angkatan; mulai dari Darat, Laut, dan Udara sudah dijelaskan kepada Presiden. Pendanaannya sendiri bisa dari Anggaran Pinjaman Luar Negeri (APLN), Anggaran Pinjaman Dalam Negeri (APDN), atau dari rupiah murni yang betul-betul berasal dari APBN yang disediakan untuk belanja modal.
Sejumlah alutsista yang menjadi prioritas antara lain kapal selam dan kapal cepat rudal untuk Angkatan Laut, helikopter serbu, serta helikopter angkut untuk Angkatan Darat. Beberapa akan dibeli di dalam negeri, yang diproduksi oleh PT PINDAD dan PT PAL. Sedangkan alutsista impor antara lain dari Rusia untuk melengkapi skuadron Sukhoi dan kapal selam dari Korea Selatan.
Purnomo Yusgiantoro menambahkan, “Berapa jumlahnya dan untuk flash point yang mana itu sudah ada prioritasnya. Terakhir tadi kami paparkan, bahwa dari itu semua yang bisa datang tahun 2012 itu apa saja, misalnya kapal selam kita pesan tiga tapi tidak mungkin datang semua, karena akan ada yang kita buat di PT PAL. Daftarnya sudah ada dan dihitung kebutuhannya. Tadi sudah disampaikan Rp 99 Triliun, yang sudah ada (uangnya di APBN) Rp 66 Triliun.”
Sementara, ekonom Faisal Basri kepada VOA, menilai penguatan alutsista seharusnya menjadi prioritas utama negara, dengan biaya yang bersandar sepenuhnya pada UU, sebagaimana anggaran pendidikan. Pinjaman luar negeri tidak ada masalah, kata Faisal, sepanjang ada transparansi dalam proses pembeliannya.
“Harus di cek kembali apakah Rp99 Triliun itu sudah memenuhi UU belum, seperti UU Pendidikan ‘kan 20 persen dari APBN. Tetapi kalau alutsista ini 1,2 persen dari PDB, jadi pembaginya lebih besar (dari anggaran pendidikan). Baru dari situ kita bicara soal pendanaannya, apakah APBN murni atau kredit ekspor. Motifnya kan agar senjata buatan mereka (impor) cepat laku dan bunganya harus lebih rendah, tidak ada masalah,” papar Faisal Basri.
Dengan keterbatasan APBN, kata Faisal, angka ini tentu teramat minim untuk menjaga pertahanan dan keamanan nasional. Sementara pemerintah menyediakan anggaran untuk subsidi BBM yang jauh lebih besar.
“Sangat tidak cukup sebetulnya, tetapi APBN kita juga ‘kan terbatas, ini sedihnya. Untuk melindungi Sabang sampai Merauke Rp99 Triliun tetapi untuk subsidi BBM Rp120 Triliun. Kok untuk subsidi BBM bisa untuk perlindungan negara tidak bisa?” ujar Faisal Basri.
Pemerintah juga membentuk High Level Committee (Komite Tingkat Tinggi), untuk mengawasi penggunaan anggaran alutsista. Komite ini terdiri dari Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Bappenas, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsuddin ditunjuk menjadi Ketua Komite, melalui Keputusan Presiden yang akan disiapkan dalam waktu dekat.