Sepuluh personel PBB dan tiga anggota staf sipil tewas ketika menjalankan tugas sepanjang 2020, sehingga jumlah kematian selama sepuluh tahun terakhir ini menjadi 440 orang. Hal itu terungkap dalam temuan Komite Tetap Bagi Keamanan dan Kemerdekaan Layanan Sipil Internasional di Serikat Staf PBB.
Dalam siaran pers pada Senin (8/2), organisasi itu mengatakan pembunuhan yang disengaja itu mencakup penggunaan alat peledak rakitan dan senjata-senjata lain, pembunuhan terarah dan serangan bunuh diri.
“Dari waktu ke waktu kami belajar bahwa banyak mitra kami yang bertugas di tempat-tempat paling berbahaya di seluruh dunia, telah memberikan pengorbanan tertinggi bagi PBB,” ujar Patricia Nemeth, Presiden UN Staff Union atau Serikat Staf PBB itu.
Empat dari 12 personel PBB yang tewas tahun lalu itu berasal dari Burundi dan tiga lainnya dari Chad. Tiga lainnya yang meninggal adalah warga negara Mesir, satu orang warga Indonesia, dan satu warga Rwanda. Tiga warga sipil yang tewas berasal dari Republik Afrika Tengah, Myanmar dan Suriah.
Organisasi itu mengatakan personel PBB asal Indonesia yang tewas itu berdinas di Misi Stabilisasi PBB di Republik Demokratik Kongo (MONUSCO) dan ia meninggal dalam sebuah penyergapan bersenjata.
Di Suriah, kekerasan bersenjata memicu tewasnya seorang guru sains yang bekerja untuk PBB urusan pengungsi Palestina UNRWA. Sementara seorang sopir yang bekerja untuk Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) di Myanmar tewas dalam serangan ketika sedang mengantar sampel-sampel Covid-19.
Selama bertahun-tahun, banyak staf yang tewas di lapangan ketika berupaya meringankan beban orang yang hidup di bagian-bagian wilayah paling bermasalah di dunia.
Jumlah kematian tertinggi terjadi pada 2017 dengan 71 kasus pembunuhan, disusul kematian 61 personel pada 2014. Meskipun jumlah kematian pada 2020 lebih kecil dibanding 2019 yang mencapai 28 orang, Nemeth mengatakan kematian adalah pengorban yang paling sulit diterima.
“Meskipun kita mungkin tidak terdampak secara langsung oleh perang yang berkecamuk di seluruh dunia, sebagian dari kita mungkin tidak benar-bebarn memahami besarnya pengorbanan yang dibuat,” tambahnya.
Tidak semua pelaku tidak dapat diseret ke muka hukum. Sejauh ini, Mahmoud Bazzi yang berusia 76 tahun, tersangka penculika dan pembunuhan dua personel penjaga perdamaian Irlandia pada 1980an, divonis 15 tahun penjara.
Sidang pengadilan pemimpin milisi Kongo Tresor Mputu Kankonde juga telah dimulai pada Oktober 2020. Kankonde dituduh membunuh pakar PBB Zaida Catalan asal Swedia, Michael Sharp asal Amerika, dan penerjemah mereka Betu Tshintel, pada 2017.
Nemeth menyerukan kepada semua pihak untuk bersikap tegas terhadap pelaku pembunuhan.
“Ada titik di mana kita mengatakan cukup adalah cukup,” ujarnya. “Kita tidak memiliki pilihan lain selain terus menyerukan pada PBB dan negara-negara anggotanya untuk meningkatkan langkah keamanan guna melindungi nyawa personel kita.”
Organisasi itu juga menantang PBB dan negara-negara anggotanya untuk meningkatkan sumber daya pada masyarakat madani, militer dan polisi di garis depan.
Upaya dan kenangan jiwa yang hilang itu “tidak akan pernah terlupakan ketika mereka beristirahat di tempat yang sakral dan diberkati, menandai pengabdian mereka pada umat manusia di seluruh belahan dunia.” [em/lt]