Tautan-tautan Akses

Semut Berbaris Menuju Medan Tempur, Selamatkan Rekan-Rekannya yang Terluka


Seekor semut Matabele tampak membawa rekannya yang cedera kembali ke sarang setelah melakukan serangan pada foto yang diambil pada tanggal 26 Juli 2013 dan dibagikan tanggal 12 April 2017 (foto: Erik Frank/Dibagikan via REUTERS)
Seekor semut Matabele tampak membawa rekannya yang cedera kembali ke sarang setelah melakukan serangan pada foto yang diambil pada tanggal 26 Juli 2013 dan dibagikan tanggal 12 April 2017 (foto: Erik Frank/Dibagikan via REUTERS)

Anggota spesies semut pemakan rayap, berukuran besar, berwarna hitam yang ditemukan di kawasan sub-Sahara Afrika diketahui ternyata berperilaku seperti serdadu yang sedang bertempur di kalangan manusia.

Persis seperti serdadu yang sedang bertempur di kalangan manusia, anggota spesies semut pemakan rayap, berukuran besar, berwarna hitam yang ditemukan di kawasan sub-Sahara Afrika berbaris dalam formasi ke medan tempur dan sesudahnya mencari dan membawa pulang rekan-rekannya yang terluka untuk pemulihan.

Para ilmuwan hari Rabu menjelaskan perilaku penyelamatan yang bersifat unik dari semut Matabele Afrika, yang disebut Megaponera analis, setelah mengamati mereka di Taman Nasional Comoé do Pantai Gading namu tidak menganggap motif-motif sosial dari serangga-serangga tersebut.

“Ini bukanlah perilaku yang menunjukkan keikhlasan,” ujar Erik Frank, seorang entomologis dari the University of Würzburg di Jerman, yang memimpin penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Science Advances.

“Semut-semut itu tidak menolong rekan-rekannya karena kebaikan hatinya. Jelas adalah manfaat yang jelas untuk koloni semut tersebut: mereka yang terluka tidak mampu lagi untuk ikut serta dalam pertempuran yang akan datang dan tetap menjadi anggota koloni yang berguna.”

Semut-semut tersebut, yang dapat tumbuh sepanjang hingga hampir tiga perempat inci (2 cm), memiliki spesialisasi berburu rayap dan menggunakan strategi penyerangan yang khas.

Semut pemandu meninggalkan sarang untuk mencari lokasi-lokasi perburuan rayap, kemudian merekrut hingga 500 rekan satu sarang dan memimpin mereka ke sarang-sarang rayap dalam formasi kolom. Semut-semut yang cedera dalam pertempuran melawan rayap, kadang-kadang kehilangan anggota badan dan menjadi cacat ketika rayap mencengkram mereka, kemudia mengeluarkan zat kimia feromon dari tubuh-tubuh mereka sebagai sinyal permintaan bantuan kepada rekan-rekannya.

Semut-semut yang tidak terluka kemudian membopong mereka yang cedera dan membawanya, selain juga membawa rayap-rayap yang mati, kembali ke sarang dalam formasi kolom yang sama, kadang-kadang hingga sepanjang 50 meter.

Begitu kembali ke sarangnya, semut-semut lain kemudian menyingkirkan rayap yang mencengkram semut-semut ang cedera. Semut-semut yang kehilangan satu atau dua dari enam kakinya mampu beradaptasi dengan gerakan mereka, sering kali mendapatkan kembali kecepatan berlarinya serupa dengan semut-semut yang sehat dalam waktu 24 jam.

Hampir semua semut-semut yang berhasil diselamatkan ikut serta dalam serangan-serangan berikutnya, kadang-kadang dalam waktu satu jam setelah mengalami cedera.

Fank berkata bahwa ia terkejut menemukan perilaku ini dalam spesies invertebrata.

“Awalnua kedengaran tidak masuk akal untuk saya mengapa mereka harus mengembangkan perilaku menolong seperti ini,” ujar Frank. “Setelah mengamati dengan lebih seksama, kami sadar bahwa kebaikan individu, menyelamatkan rekannya yang cedera, juga dapat bermanfaat bagi koloni, dan individu-individu semacam itu juga dapat sangat bermanfaat di kalangan semut-semut.”

Selain hewan primata seperti kera dan monyet, perilaku penyelamatan seperti ini juga telah diamatai pada mamalia lain tertentu termasuk gajah, tikus, dan lumba-lumba, ujar Frank. [ww]

XS
SM
MD
LG