Aliansi sembilan serikat pekerja di Myanmar melakukan pemogokan umum hari Senin dalam upaya mendukung gerakan antikudeta dan menekan para anggota junta militer.
“Melanjutkan aktivitas ekonomi dan bisnis seperti biasa… hanya akan menguntungkan militer sementara mereka menindas energi rakyat Myanmar,” sebut mereka dalam sebuah pernyataan bersama. “Sekarang adalah waktunya untuk mengambil tindakan dalam membela demokrasi kita.”
Aksi mogok oleh pegawai negeri, termasuk yang mengoperasikan kereta api di negara itu, telah berlangsung berpekan-pekan.
Toko-toko, pabrik dan bank ditutup di Yangon, sementara massa berkumpul di kota terbesar di Myanmar itu meskipun banyak tentara yang memeriksa mobil. Pengunjuk rasa juga berkumpul di kota terbesar kedua, Mandalay, dan Monywa, kota di bagian barat Myanmar.
Kantor berita Reuters juga menyebutkan para demonstran melambai-lambaikan bendera dari sarung perempuan atau menggantungnya di tali-tali yang membentang di jalan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional sekaligus mengecam junta.
Seruan untuk menutup ekonomi muncul hari Minggu (7/3) setelah pertumpahan darah antara demonstran dan polisi serta militer, yang menduduki rumah sakit-rumah sakit di kota utama, Yangon.
Mandalay menghadapi kehadiran aktivis dalam jumlah terbanyak yang melancarkan protes berupa aksi duduk setelah mengheningkan cipta selama dua menit untuk menghormati orang-orang yang tewas oleh polisi dan unit-unit militer. Hal tersebut tampak dalam video yang diunggah di media sosial. Sedikitnya 70 orang ditahan.
Polisi menggunakan granat kejut dan gas air mata dalam menghadapi demonstran di kota bersejarah, Bagan, Situs Warisan Dunia UNESCO yang terkenal dengan kuil-kuil Buddha kunonya. [uh/ab]