Sebuah lagu dilantunkan kelompok paduan suara Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro, diikuti seluruh hadirin yang hadir. Syair lagu itu berisi keyakinan manusia akan kasih Tuhan, meski menghadapi berbagai macam cobaan. Tidak hanya dinyanyikan oleh jemaat gereja, tapi juga oleh hadirin yang hadir dari berbagai kelompok lintas agama. GKI Diponegoro adalah salah satu dari tiga gereja di Surabaya, yang menjadi sasaran serangan teror bom bunuh diri, pada hari Minggu (13/5/2018) lalu.
Dalam kesaksian yang diceritakan oleh Yosua Poli, salah seorang penatua gereja, peristiwa serangan bom bunuh diri yang menyasar GKI Diponegoro tidak pernah diduga sebelumnya. Peristiwa itu selain mengorbankan 3 pelaku bom bunuh diri, juga melukai beberapa jemaat dan petugas keamaman gereja yang saat itu sedang ada di halaman. Yosua mengungkapkan rasa herannya atas peristiwa bom bunuh diri, yang melibatkan seorang ibu dengan dua orang anak perempuannya. Padahal seorang ibu seharusnya memberikan keselamatan dan perlindungan kepada anak-anaknya.
“Yang saya ingat adalah hari itu ibadah kita merayakan Hari Ibu Internasional, temanya Allah yang berhati ibu. Ibu dalam benak saya, ibu mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan anak, ibu berpikir untuk keselamatan anaknya terlebih dahulu, baru berpikir pada dirinya sendiri. Tapi pada saat yang sama saya dihadapkan seorang ibu dengan dua orang anak melakukan tindakan bunuh diri. Setiap kali saya mengingat situasi itu saya sedih, beberapa hari saya menangis, karena itu bukan sosok ibu yang saya kenal,” ujar Yosua Poli, seorang panatua di GKI Diponegoro.
Doa bersama yang digelar di GKI Diponegoro, Jumat (18/5/2018) malam, dihadiri sekitar 1.700 orang dari berbagai agama dan kepercayaan, yang memberikan dukungan dan kekuatan bagi korban yang mengalami trauma atas teror bom. Kehadiran kelompok lintas agama ini untuk menegaskan bahwa teror bom yang dilakukan tidak terkait dengan agama, karena kehidupan kerukunan antar umat beragama di Surabaya selama ini terjalin sangat baik.
Mardikin, warga Surabaya penganut Sapto Darmo mengatakan, warga Surabaya tidak boleh takut menghadapi aksi terorisme, karena semua elemen masyarakat di Surabaya siap bergandengan tangan melawan setiap gangguan yang ada.
Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya, Romo Yosef Eko Budi Susilo mengatakan, kekerasan yang terjadi tidak dapat dilawan dengan kekerasan, melainkan dengan cinta kasih. Maka kehadirannya di GKI Diponegoro bersama umat beragama yang lain, adalah bentuk dukungan dan cinta pada kehidupan dan kemanusiaan.
“Modal kita disini adalah menyemangati kami semua, bahwa kita adalah cinta sesama, cinta Surabaya, dan saya bergaul sudah sekian puluh tahun dengan tokoh-tokoh agama, semua tokoh-tokoh agama atau ajaran apapun itu pasti dan saya tahu mereka selalu juga mengabarkan, mewartakan kasih. Maka kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, kekerasan harus kita lawan dengan kasih,” ujar Romo Yosef Eko Susilo, Vikaris Jendral Keuskupan Surabaya.
Hal senada disampaikan Yuska Harimurti, dari Gusdurian Jawa Timur yang mengatakan, doa bersama lintas iman ini merupakan bentuk kekuatan warga Surabaya dalam melawan terorisme dan kekerasan, karena kehidupan guyub rukun adalah karakter warga Surabaya sebenarnya.
“Itu untuk saling menguatkan, memberikan dukungan, memberikan support kepada pada korban, khususnya kepada masyarakat Surabaya, bahwa masyarakat Surabaya itu akan senantiasa dan selamanya bisa bergotong royong membentuk kehidupan yang rukun bahagia dalam Kota Surabaya. Dalam sejarahnya tidak ada Surabaya mengalami hal seperti ini. Jadi, ini adalah bukti bahwa dengan keguyuban dan karakter masyarakat Surabaya yang begitu mencintai keguyuban itu, akan bisa memperkuat, bisa membuat Indonesia itu menjadi lebih mandiri,” ujar Yuska Harimurti dari Gusdurian Jawa Timur.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Umum Majelis Jemaat GKI Dionegoro, Pendeta Daniel Theophilus mengatakan, pasca serangan bom bunuh diri di gerejanya, jemaat akan tetap beribadah seperti biasa sambil melakukan trauma healing bagi jemaat yang masih mengalami rasa takut.
“Bu Risma meminta kita untuk melakukan kegiatan seperti biasa, jadi kita mulai Minggu besok ini sduah kegiatan kebaktian akan berjalan di semua jam ibadah. Dan beberapa hari ini kegiatan kami adalah, selain kegiatan rutin kami, kami mengadakan kegiatan trauma healing, ini untuk mengobati ketakutan-ketakutan yang mencekam di hati banyak jemaat yang hari itu hadir pada saat kejadian,” ujar Pendeta Daniel Theophilus, Ketua Umum Majelis Jemaat GKI Diponegoro. [pr/em]