Pengadilan Negeri Jakarta Barat hari Selasa (20/10) kembali menggelar sidang kasus dugaan tindak pidana teroris terhadap enam terdakwa simpatisan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
Mereka adalah Muhammad Basri, Ahmad Junaedi, Ridwan Sungkar, Koswara, Ahmad Junardi, dan Ajis Hermawan. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi Ustadz Afif, yang telah divonis empat tahun penjara dalam kasus penyandang dana kasus terorisme Aceh dan simpatisan ISIS.
Dalam keterangannya, Afif hanya menjelaskan soal pengalamannya ketika pergi ke Suriah. Dia mengaku tidak mengenal keenam terdakwa tersebut.
Afif yang berusia 63 tahun menjelaskan, setelah pemimpin ISIS Abu Bakar Al Baghdadi mendeklarasikan berdirinya kekhalifahan Islam – yang disebut sebagai Daulah Islamiyah – sejumlah tokoh garis keras di Indonesia termasuk Abubakar Baasyir berbaiat kepada Bagdadi.
Menurutnya, para simpatisan ISIS yang ingin pergi berjihad ke Suriah juga harus berbaiat kepada Daulah Islamiyah. Afif menyampaikan kesaksiannya ketika pergi ke pangkalan ISIS di Suriah pada Desember 2013 untuk memberikan bantuan kemanusiaan sebesar 50 juta rupiah kepada kaum Muslim di Suriah.
Ia mengaku pergi ke pangkalan ISIS di provinsi Latakia, Suriah selama 15 hari dan melihat empat santrinya sedang menjalani latihan militer di kamp milik ISIS. Dua di antara empat santri itu kini telah tewas. Tetapi ketika diminta identitas mereka, juga berapa banyak warga negara Indonesia yang ikut berperang bersama ISIS, Afif menyatakan tidak tahu.
"Menyatakan saja itu juga dorongannya jangan sampai dia matinya dalam keadaan jahiliyah, karena (jika) tidak di-baiat kepada pemimpin Islam dan mati, itu matinya jahiliyah, itu (ada dalam) hadits," ungkap Afif.
ISIS adalah milisi paling kuat di Suriah selain Front Al Nusra – salah satu sayap Al Qaida di Suriah. Sejak Abu Bakar Al Baghdadi mengumumkan berdirinya Daulah Islamiyah pada 29 Juni 2014 di kota Mosul – Irak, ISIS kini telah menguasai setengah dari wilayah Suriah dan sepertiga wilayah Irak.
Sejak bedirinya Daulah Islamiyah, semakin banyak jihadis asing bergabung ke ISIS termasuk dari Indonesia.
Enam simpatisan ISIS yang sekarang ini sedang diproses hukum diancam pasal makar yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Sebelumnya, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Anton Charliyan menyatakan Undang-Undang Terorisme tidak bisa dikenakan kepada mereka karena mereka tidak melakukan aksi teror di dalam negeri.
Pasal makar tersebut menyatakan bahwa makar dengan maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara supaya dikuasai sebagian atau seluruh kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris meminta agar presiden dan anggota parlemen segera melakukan revisi terhadap Undang-undang Anti-Terorisme.
Revisi ini penting untuk mencegah dan membendung faham radikal di Indonesia seperti yang dibawa oleh kelompok Negara Islam Irak dan Syiria (ISIS). Saat ini lanjutnya Undang-undang teroris belum mencakup menyeluruh mengenai aktivitas teroris dan juga belum mampu menjerat perbuatan-perbuatan awal yang mengarah pada perbuatan terorisme.
Irfan Idris mencontohkan pasal menyebarkan kebencian (hate speech), mengikuti pelatihan militer seperti yang dilakukan kelompok teroris di Aceh atau mengikuti latihan militer di luar negeri serta berjanji atau bersumpah (baiat) mendukung organisasi terorisme internasional, belum diatur secara maksimal dalam Undang-undang Anti-Terorisme ini.
"Penindakan dunia mengakui, banyak negara-negara yang belajar di Indonesia tentang penidakan itu karena tidak ada teroris yang tidak ditindak, semua dibawa ke meja hijau, tetapi pencegahan secara menyeluruh kita belum bisa karena itu, lemahnya undang-undang kita. Undang-undang teroris No.15 tahun 2003 belum tegas menyatakan bahwa menanamkan kebencian, menyebarkan permusuhan itu adalah kriminal, sementara negara-negara lain menganggap itu kriminal," papar Irfan Idris.