Koalisi Masyarakat Sipil untuk Suistanable Development Goals (SDGs) yang antara lain terdiri dari Koalisi Perempuan Indonesia, Kapal Perempuan dan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) menilai pemerintah Indonesia enggan memasukkan sunat perempuan ke dalam target dan indikator kesetaraan gender.
Sunat perempuan menurut Direktur Eksekutif Hamong Santono bukan tindakan medis, tetapi praktek budaya semata. Indonesia adalah negara ketiga terbesar setelah Mesir dan Ethiopia yang melakukan praktek sunat perempuan terhadap 200 juta anak perempuan dan perempuan yang hidup di 30 negara.
Sunat perempuan terbukti berdampak buruk secara medis dan psikis, padahal tidak ada alasan yang mendasarinya selain pertimbangan budaya.
Hamong mengatakan, "Sebuah Ironi, Indonesia merupakan negara G-20 namun justru Indonesia menduduki posisi kedua terbesar melakukan sunat perempuan. Saatnya Indonesia menghentikan segala bentuk diskriminasi berbasis gender seperti yang tercermin dalam praktek sunat perempuan ini dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB/SDGs).
Penelitian Jurnalis Uddin tentang "Female Circumcision : A Soci, Cultural, Health dan Religious Perspectives" menyatakan sunat perempuan beresiko pendarahan yang berakhir kematian, rasa sakit yang hebat ketika pelaksanaan sunat dan setelahnya, serta kerusakan organ akibat pelaksanaan sunat yang salah.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan selama ini pemerintah luput memperhatikan soal sunat pada perempuan. Tidak pernah ada aturan tegas yang melarang sunat perempuan. Bahkan hingga saat ini ada 10 daerah di Indonesia yang masih menjalankan praktek sunat perempuan secara ketat, antara lain: Sulawesi, Sumatera Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur.
Menurut Dian, alat untuk digunakan untuk melakukan sunat seringkali tidak higienis dan orang yang melakukannya tidak memiliki pengetahuan medis terkait sunat perempuan. Alat yang sering digunakan untuk melakukan sunat perempuan antara lain: pisau, gunting, sembilu atau silet, jarum, pinset, kuku atau jari pelaku sunat, koin hingga kunyit.
"Ini bukan saja kejahatan pada perempuan tapi juga pada anak dan merupakan bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Dian.
Ketua Harian Lingkaran Pendidikan Alternatif (Kapal) Perempuan, Misiyah menambahkan sudah saatnya Pemerintah menggalakkan penyadaran publik bahwa sunat perempuan hanya merupakan ajaran budaya semata dan bukan medis.
Selama ini, menurut dia, sunat perempuan diterima sebagai kebenaran tunggal, di mana budaya dan agama digunakan untuk membenarkan tindakan itu. Minimnya informasi tentang resiko psikis dan psikologis, membuat masyarakat masih terus mempraktikkan sunat perempuan.
Misyiah mengatakan, "Masyarakat harus diberikan informasi dan pendidikan yang jelas dan benar tentang sunat perempuan ini. Selama ini sunat perempuan selalu dikaitkan dengan agama dan budaya. Kementerian Kesehatan harus menerbitkan kebijakan yang mendukung penghapusan sunat perempuan dan menghapuskan praktek medikalisasi sunat perempuan.
Misiyah menambahkan menteri agama harus memberikan penyadarakan kepada organisasi berbasis agama untuk bersikap terbuka dan tidak memberlakukan pemahaman tafsir secara tunggal, seperti pemahaman yang mengharuskan bahwa sunat terhadap anak perempuan merupakan tindakan yang harus dilakukan. [fw/em]