Dalam survei yang dilakukan “Saiful Mujani Research and Consulting” (SMRC) atas 1.220 responden di seluruh provinsi di Indonesia pada 10-12 Desember 2015, diketahui bahwa 95,3% mengatakan tahu tentang keberadaan ISIS dan dengan tegas mengatakan organisasi penyebar teror itu tidak boleh ada di Indonesia.
Direktur Utama SMRC Djayadi Hanan kepada wartawan di kantornya hari Jum’at (22/1) mengatakan lebih dari 95% masyarakat yang tahu tentang ISIS, menilai kelompok itu sebagai ancaman terhadap NKRI. Meskipun demikian ada 4,4% yang memilih tidak menjawab.
Penolakan terhadap ISIS ini lanjutnya tersebar merata di semua kategori jender, desa-kota, umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, wilayah, etnis dan agama.
SMRC: Ada kecenderungan pengaruh kuat ISIS pada kalangan muda
Djayadi Hanan mengungkapkan walaupun survei lembaganya menunjukan bahwa hanya sedikit masyarakat yang bersimpati pada ISIS, namun ada indikasi bahwa dukungan terhadap ISIS itu memiliki kecenderungan lebih kuat di kalangan muda dibandingkan kelompok umur lainnya.
Walau tetap rendah, masih ada 4% warga berusia 22-25 tahun dan 5% warga yang masih sekolah atau kuliah yang tahu tentang ISIS menyatakan setuju dengan apa yang diperjuangkan ISIS. Sementara di kelompok lain angka itu hanya 0-1%. Menurut Djayadi, survei lembaganya juga mengungkapkan lebih banyak warga yang merasa tidak aman dari ancaman teroris dibanding tahun sebelumnya.
“Hampir semua masyarakat Indonesia lebih dari 95 persen mengatakan ISIS itu 'gak boleh ada di Indonesia. Jadi ini pukulan berat buat ISIS, masyarakat Indonesia tidak terima. Ada sedikit yang menerima jumlah sedikit sekali 0,3 persen yang menyatakan 'gak papa ISIS ada di Indonesia dengan berbagai alasannya,” ungkap Djayadi.
Polri: Masyarakat seharusnya tak lagi tertipu dengan kedok agama
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Anton Charliyan mengatakan teroris hanya menggunakan agama sebagai kedok, karena kenyataannya tindakan yang dilakukan justru bertentangan dengan agama. Polisi – tambah Charliyan – sangat berharap masyarakat tidak lagi tertipu dengan bujukan-bujukan atau ajakan-ajakan yang mengatasnamakan jihad. Bahkan menurutnya seluruh ulama di dunia sudah mengatakan bahwa ISIS bukanlah gerakan agama dan terorisme bukan jihad.
“Memang namanya Islamic State justru umat Islam di dunia marah karena namanya dicatut. Namanya bisa saja Islamic State atas nama-nama simbol agama tetapi untuk aktivitasnya sangat jauh dari rahmatan lil-alamin, sangat jauh dengan apa yang diajarkan agama,” ujar Charliyan.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksda Purn Soleman B. Ponto meminta Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri untuk menggunakan hati dalam menangani teroris. Ini untuk menghindari lahirnya bibit baru.
Ia mengatakan, “Siapapun pelaku teror itu kan punya orang tua, anak , adik, paman, punya saudara sehingga apa yang kita lihat ketika kita melawan dia harus melihat aturan-aturan apa yang dia langgar. Contoh Poso, apa yang diumumkan terus menerus selalu ditembak, ditembak, ditembak. Bagi kita disini yang ditembak teroris tetapi bagi orang Poso yang ditembak itu adik saya, paman saya, kakek saya. Sehingga bagi orang Poso satu jawabannya balas dendam.”
Tetapi tokoh agama Romo Franz Magnis Suseno kembali menegaskan bahwa terorisme tidak adanya hubungan dengan agama. [fw/em]