Hingga awal tahun ini, tidak sedikit pejabat terkait yang mengutip beberapa survei terakhir yang tersedia yang menyebutkan rendahnya tingkat literasi atau minat baca di Indonesia. Salah satu survei itu, yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment yang dirilis Organisasi bagi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan pada 2019, menunjukkan tingkat literasi Indonesia di urutan ke-72 dari 78 negara.
Tiga tahun sebelumnya, survei World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State University menyebutkan, minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei.
Namun, menurut Monika Nur Lastiyani, Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, “Survei itu sudah basi. Saat bicara tentang minat baca, sebenarnya minat baca di masyarakat, khususnya di DIY, sangat tinggi. Terbukti dengan bagaimana masyarakat memanfaatkan perpustakaan, tempat-tempat baca, sudut-sudut baca, dan semua jenis perpustakaan yang tersebar di DIY, terutama.”
Monika bahkan mengaku tidak lagi mengkhawatirkan minat baca yang rendah. Hasil survei Perpustakaan Nasional menunjukkan bahwa minat baca masyarakat di DIY termasuk tertinggi secara nasional, tegasnya.
Maulina Muzirwan, co-founder komunitas Klub Baca Yogyakarta sependapat bahwa minat baca masyarakat Indonesia tinggi. Namun, masalahnya adalah kualitas bacaan mereka. Contohnya, ia menengarai masyarakat masih banyak yang lebih suka membaca cuitan di Twitter atau media sosial lainnya. Padahal, tak sedikit informasi di media sosial yang menyesatkan, tetapi ditelan mentah-mentah tanpa mengeceknya ke sumber yang terpercaya.
Sementara itu masalah yang menjadi sorotan Monika adalah, jumlah bahan pustaka yang terbatas. Tanpa menyebutkan perbandingannya, ia menyatakan tingkat terbitan di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan di negara-negara lainnya. Meskipun banyak penerbit, terutama di DIY sudah aktif, ini masih belum mampu mendongkrak pemenuhan kebutuhan bahan bacaan masyarakat, ujarnya.
Ketua redaksi perusahaan penerbitan PT Bentang Pustaka, Imam Risdiyanto mengakui ada penurunan jumlah terbitan, tetapi ia mengacu itu hanya pada masa pandemi selama dua tahun belakangan.
Sebelum pandemi, lanjut Imam, pengajuan ISBN setiap tahun mengalami kenaikan, yang berarti orang yang membuat buku semakin banyak.
ISBN atau International Standard Book Number adalah deretan angka pemberi identifikasi unik secara internasional terhadap satu buku maupun produk seperti buku yang diterbitkan oleh penerbit. Di Indonesia, Perpustakaan Nasional adalah badan nasional ISBN yang berhak memberikan ISBN kepada penerbit di wilayah Indonesia.
Pada masa pandemi, lanjutnya, semua penerbit memang menghadapi situasi yang tidak memungkinkan untuk menerbitkan dalam jumlah banyak. Ia menggambarkan berbagai kesulitan yang dialami para penerbit.
“Semua toko tutup, mal tutup, otomatis toko buku yang ada di mal juga tutup semua. Toko yang terpisah dari mal, juga tutup karena pembatasan. Praktis sebenarnya penerbit hampir tidak bisa berjualan karena toko tutup semua.”
Penerbit, termasuk Bentang Pustaka, ujar Imam, menggunakan alternatif yang tersedia untuk mengatasi tersebut. Mulai dari mengalihkan penjualan ke toko online dan market place, maupun dengan teknik reseller. Namun ternyata, lanjut Imam, “Mengubah penjualan ke online itu belum cukup kuat untuk menggantikan penjualan offline.”
Situasi di Indonesia juga berbeda dengan fenomena di sejumlah negara lain yang mengalami peningkatan penjualan buku dan e-book selama pembatasan terkait pandemi, kata Imam.
Orang yang terkurung oleh pembatasan, ternyata banyak berbelanja buku untuk mengisi waktu selama di rumah. Contohnya, mengutip the Guardian pada awal tahun lalu, penjualan buku cetak pada 2020 naik 5,2% dibandingkan dengan tahun 2019. Sementara itu Asosiasi Penerbit dan Penjual Buku Jerman awal tahun ini melaporkan penjualan buku tumbuh 3,2% dibandingkan dengan pada 2020.
Situasi tidak menentu akibat pelonggaran dan pengetatan pembatasan yang silih berganti membuat penerbit akhirnya terpaksa mengurangi kapasitas produksi. Imam menyebut angka 30 hingga 50 persen, bahkan ada yang sama sekali berhenti berproduksi selama beberapa bulan untuk menghemat biaya. Seiring dengan pengurangan jumlah judul buku itu yang diterbitkan, mau tak mau seleksi harus dilakukan. Bahkan tidak sedikit buku yang ditunda penerbitannya meskipun sudah masuk jadwal terbit.
Sementara itu, berkenaan dengan sinyalemen sedikitnya terbitan yang kurang mengimbangi minat baca yang besar, Maulina melihat salah satu faktornya adalah royalti yang kecil bagi penulis.
“Jadi daripada menggantungkan hidupnya dari menulis saja, ya mending dia kerja yang lain saja, daripada dia hanya menulis buku enggak menghasilkan apa-apa. Itu sih yang kayaknya mungkin membuat orang mending menulis digital daripada menulis dan diterbitkan di penerbit mayor atau penerbit indie," katanya.
Imam menjelaskan, ongkos produksi adalah komponen terbesar dalam penerbitan buku. Penerbit rata-rata menyisihkan 10-12 persen dari harga buku, dan untuk judul-judul tertentu bakal lebih sedikit lagi agar harga buku tetap terjangkau, jelasnya. Penerbit, ujarnya, kadang-kadang mendapatkan persentase yang sama dengan apa yang diperoleh penulis dari royaltinya.
Menyambut Hari Buku Nasional, Monika menyampaikan pesan yang intinya adalah tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkan perpustakaan.
“Ada berbagai hal bisa dilakukan, berkomunikasilah dengan kami, sehingga kami bisa memiliki treatment untuk masyarakat yang menginginkan bahan pustaka tapi tidak bisa hadir di perpustakaan,” ujarnya.
Ia mengundang masyarakat untuk mendatangi atau memanfaatkan perpustakaan daerah DIY. Selain perpustakaan ini memberi suasana nyaman dan sangat bernuansa modern, layanan yang diberikan pun sangat memudahkan pemustaka.
Sementara itu, meskipun Maulina menyatakan kebiasaan dan minat baca berasal dari latar belakang keluarga - apakah orang tua juga gemar membaca dan mengajari anak untuk gemar membaca - perempuan yang memiliki koleksi ribuan buku ini menyisipkan tips untuk gemar membaca.
“Mulailah dari apa yang kamu suka, tidak usah langsung membaca buku yang menurut orang-orang hype. Enggak usah lihat tebal tipisnya, tapi konsistenlah membaca, misalnya, sediakan waktu sehari minimal 5-10 halaman,” pesannya.
Di sisi penerbit, Imam terus mengampanyekan pesan untuk membeli buku asli. Membeli buku bajakan dengan harga murah hanya memperkaya satu orang dan tidak memberi sumbangsih bagi banyak orang. Sedangkan membeli buku asli, meskipun harga lebih mahal, tetapi ini menjalankan roda perbukuan. Penerbit dapat terus menerbitkan buku, penulis mendapat royalti dan terus ingin berkarya. Ia menitipkan pesan,
“Sederhana saja ya, membeli buku asli, atau membaca buku asli. Kalau misalnya tidak memiliki cukup uang untuk membeli buku, bacalah di perpustakaan.” [uh/ab]