Berbekal linggis dan mengenakan pakaian pengaman, tiga perempuan di klinik anti stres mengumpulkan botol-botol yang akan segera mereka hancurkan.
“Lega rasanya. Rasanya seperti sesuatu yang saya pendam di dalam akhirnya bisa dilepaskan ketika saya menghancurkan botol-botol tadi,” kata Genta Kalbu Tanjung, mahasiswi berusia 20 tahun kepada kantor berita AFP pada Januari lalu.
Genta dan dua temannya masing-masing membayar Rp 125 ribu untuk menumpahkan emosi yang terpendam di Temper Clinic. Di klinik itu, para pelanggan juga bisa melampiaskan emosi dengan menghancurkan televisi tua dan printer, tapi tentunya harus merogoh kocek lebih dalam.
Di dalam ruangan kosong yang digunakan untuk melampiaskan amarah, satu dindingnya terpampang tulisan yang berbunyi: “Memendam amarah itu seperti minum racun dan berharap orang lain yang mati.”
Aliya Dewayanti Senoajie memanfaatkan sesi untuk pelajar selama setengah jam untuk menyalurkan kekesalan karena libur sekolah segera usai.
“Liburan sudah selesai. Liburnya terlalu singkat dan saya tidak siap untuk sekolah,” kata Aliya, yang mengatakan sesi terapi stresnya sukses.
“Rasanya menyenangkan. Adrenalin saya terpompa.”
Masagus Yusuf Albar, pemilik Temper Clinic, memulai bisnis itu tahun lalu di sebuah kawasan di Jakarta. Ide membuat bisnis melepas stres itu muncul saat dia kembali dari liburan di luar negeri. Saat liburan, dia melihat banyak bisnis serupa sedang menjamur.
Klinik pertama khusus terapi emosi dengan merusak barang dibuka di Jepang pada 2008. Harapanya, klinik tersebut membantu para pekerja kantoran yang sedang stres untuk menyalurkan rasa frustrasi mereka.
Sejak saat itu, klinik serupa makin populer, dan bisa ditemukan di kota-kota utama di AS dan Eropa.
Tren yang sama juga mulai muncul di Asia sejak dua tahun terakhir. Bisnis serupa mulai dibuka China, Singapura, dan Hong Kong.
Tapi layanan tersebut mungkin kurang cocok untuk Indonesia yang penduduknya sering masuk peringkat atas warga yang paling tidak mengalami stres di dunia.
Bukan berarti Albar merugi. Meski dia mengakui kehidupan di tempat-tempat seperti di Bali atau Sumatra cukup santai.
Tapi tentunya berbeda untuk Jakarta. Dengan populasi 10 juta jiwa dan kemacetan jalan yang parah, orang paling sabar pun bisa stres. Selain itu, pendidikan dan pekerjaan makin kompetitif.
Survei 2017 oleh Zipjet menemukan Jakarta adalah salah satu kota dengan tingkat stres tertinggi, termasuk kondisi lalu lintas, polusi udara dan suara, serta tingkat pengangguran.
“Coba pergi ke mana saja pada Jumat malam. Sangat menyebalkan. Teman saya pernah terjebak macet sampai dia menangis. Separah itu kondisinya,” kata Albar kepada AFP.
“Buat para pelanggan rasanya melegakan,” katanya.
Namun melepaskan emosi dengan merusak barang-barang tidak sepenuhnya bebas risiko, kata psikolog Liza Marielly Djaprie.
Dia mengatakan menggunakan ruang-ruang khusus seperti itu untuk melepaskan emosi mengkondisikan tubuh untuk membutuhkan penyaluran dengan cara agresif saat emosi sedang tinggi.
Djaprie menjelaskan: “Saya biasanya tidak mendorong para pasien untuk menghancurkan barang-barang supaya tidak menjadi kebiasaan. Kita perlu belajar tentang rasa marah kita – dan mengelola rasa marah.” [ft]