Menlu Amerika Rex Tillerson, dalam kunjungan ke Myanmar, mengungkapkan keprihatinannya atas "laporan yang bisa dipercaya mengenai kekejaman luas yang dilakukan pasukan keamanan dan warga" di negara bagian Rakhine namun mengatakan tidak akan menganjurkan "sanksi ekonomi yang luas".
"Saya sulit melihat sanksi ekonomi akan membantu menyelesaikan krisis ini," kata Tillerson, berbicara tentang apa yang disebut PBB "pembersihan etnis " minoritas Muslim Rohingya.
Tillerson menambahkan sanksi terhadap individu "mungkin paling tepat" . Ia berbicara didampingi pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
"Kami ingin melihat Myanmar berhasil," kata Tillerson dan mengumumkan bahwa Amerika akan memberikan bantuan tambahan 47 juta dolar kepada pengungsi Rohingya, sehingga totalnya mencapai 87 juta dolar.
Tillerson menyebut pemandangan di negara Rakhine yang bermasalah itu "mengerikan" dan mendesak Myanmar untuk mematuhi rekomendasi laporan yang diketuai mantan Sekjen PBB Kofi Annan, yang termasuk menciptakan jalur menuju kewarganegaraan penuh bagi warga Rohingya.
Aung San Suu Kyi menanggapi dengan menyampaikan terima kasih kepada Tillerson karena telah mengetahui tantangan situasi, dan tetap berpikiran terbuka.
"Pikiran terbuka sangat jarang akhir-akhir ini," kata Aung San Suu Kyii. Tak lama setelah tiba di ibu kota Naypyitaw hari Rabu, Tillerson bertemu dengan panglima militer Min Aung Hlaing, yang pasukannya telah dituduh melancarkan serangan bumi hangus terhadap desa-desa Rohingya di negara bagian Rakhine di Myanmar barat laut menanggapi serangan terhadap pos polisi Myanmar oleh pasukan militan Rohingya bulan Agustus lalu.
Serangan tersebut menyebabkan pengungsian massal 600.000 orang Rohingya ke negara tetangganya Bangladesh, yang melaporkan kepada organisasi HAM mengenai kekejaman serius yang dilakukan oleh pasukan keamanan pemerintah, termasuk penembakan acak, perkosaan dan pembakaran desa-desa.
Pejabat militer Myanmar mengatakan sebuah penyelidikan internal tidak menemukan bukti bahwa tentara melakukan kekejaman seperti itu terhadap orang-orang Rohingya, dan tentara hanya membunuh 376 "teroris" Rohingya selama pertempuran dengan pemberontak. Laporan itu dikecam Human Rights Watch yang berkantor pusat di New York sebagai upaya militer untuk "membersihkan" tindakannya.
Reputasi Aung San Suu Kyi sebagai peraih Nobel perdamaian dan ikon pro-demokrasi ternoda karena dianggap lamban merespons krisis itu. Karena ia berbagi kekuasaan dengan militer, banyak pemerintah Barat enggan mengucilkan Aung San Suu Kyi selama transisi demokrasi yang rapuh. Kelompok minoritas Rohingya sejak lama tidak mendapat kewarganegaraan dan hak-hak lain di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, dan menganggap mereka sebagai imigran dari Bangladesh, terlepas dari kenyataan bahwa banyak keluarga telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. [my/al]