Kepala Pemerintahan Adat Papua Fadal Al Hamid mengapresiasi pembebasan lima tahanan politik Papua oleh Presiden Joko Widodo, mengatakan bahwa hal tersebut menimbulkan harapan akan langkah awal penyelesaian permasalahan di Papua dengan melibatkan semua kelompok, termasuk kelompok yang pro kemerdekaan.
"Kita hargai sebagai niatan baik ya, kemauan baik dari pemerintah khususnya Presiden Jokowi untuk melihat tahanan politik di Papua sebagai bentuk keprihatinan terhadap mereka," ujarnya kepada VOA, Selasa (12/5).
Fadal menambahkan, pembebasan tahanan politik Papua harus bisa dijadikan momen penyelesaian permasalahan di Papua secara lebih serius oleh pemerintah Indonesia.
"Tahanan politik dibebaskan, tapi persoalan di Papua itu tidak ditangani dengan sungguh-sungguh, maka yang hari ini dibebaskan bisa saja besok ditahan kembali," ujarnya.
"Karena itu apa yang dilakukan oleh pemerintah marilah itu diletakkan dalam satu kerangka untuk prakondisi bagi suatu proses penyelesaian masalah Papua dengan lebih serius dengan melibatkan semua komponen di Papua. Baik itu yang berada dalam tahanan politik yang sekarang sudah dibebaskan, atau juga kepada pihak-pihak yang selama ini dianggap berseberangan dengan pemerintah."
Anggota Majelis Rakyat Papua, Joram Wambraw mengatakan menaruh harapan kepada Presiden Jokowi untuk mengubah pola pendekatan penanganan masalah di Papua, dari yang bersifat represif atau kekerasan melalui aparat keamanan menjadi pendekatan yang bermartabat dan berperikemanusiaan.
"Selama ini cap yang selalu ada adalah cap separatisme. Labelisasi sebagai separatis dengan pendekatan yang bersifat represif. Ini yang kemudian membuat jurang yang semakin dalam secara psikologis antara orang Papua dengan Jakarta. Sikap untuk memberontak terhadap republik itu ada karena ketidakadilan itu sendiri. Selama berpuluh tahun sejak integrasi, tidak ada kedamaian di Papua. Hubungan yang retak ini harus dijalin kembali," ujarnya.
Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono mengatakan ia berharap Presiden Jokowi membebaskan semua tahanan politik Papua tanpa syarat, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
"Itu sebuah langkah manusiawi karena lima orang ini sudah ditahan selama 12 tahun. Masih ada 90 tahanan politik lain. Tentu mereka harus dibebaskan," ujarnya.
Lima tahanan politik (tapol) Papua mendapat grasi atau pengurangan hukuman dari Presiden Jokowi hari Sabtu (9/5). Mereka adalah Apotnalogolik Lokobal yang dihukum 20 tahun penjara, Numbungga Telenggen yang dihukum penjara seumur hidup, Kimanus Wenda yang mendapat hukuman 20 tahun penjara, Linus Hiluka yang dihukum 20 tahun penjara, dan Jefrai Murib yang dihukum seumur hidup.
Presiden Jokowi memastikan, pembebasan tahan politik ini adalah tahap awal untuk pembebasan berikutnya baik melalui sistim grasi maupun amnesty. Langkah awal ini, menurut Presiden, adalah awal dari terciptanya tanah Papua yang damai.
"Ini adalah upaya sepenuh hati pemerintah dalam rangka untuk menghentikan stigma konflik yang ada di Papua. Kita ingin menciptakan Papua sebagai tanah yang damai. Kita ingin ajak semua (untuk dialog dan membangun Papua), baik yang ada di dalam penjara maupun yang ada di gunung. Ini adalah awal, kemudian nantinya setelah ini akan ditindaklanjuti dengan pemberian grasi atau amnesti juga untuk wilayah yang lain," ujarnya.
Wartawan Asing
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyambut baik jaminan Presiden Jokowi bahwa Papua dan Papua Barat menjadi wilayah terbuka untuk media asing dalam melakukan peliputan.
Ketua AJI, Suwarjono mengatakan Senin, kepada VoA Senin (11/5) mengatakan terbukanya wilayah itu bagi peliputan menciptakan kontrol publik terhadap pembangunan ekonomi dan politik di Papua dan Papua Barat, termasuk dalam pemantauan kondisi hak asasi manusia, masalah korupsi serta partisipasi publik dalam pembangunan.
"Justru dengan membuka Papua seluas-luasnya bagi media, dan akses informasi bagi publik nanti bisa mereka dapatkan, ini akan membuat Papua ke depan akan semakin maju," ujarnya.
Suwarjono menambahkan, kebijakan pembukaan akses peliputan bagi media asing ini juga harus diikuti dengan kebebasan media lokal di Papua dalam melakukan peliputan yang bebas dari tekanan dari instansi manapun.
"Media bisa dengan bebas melakukan peliputan di sana. Tidak ada lagi titipan. Tidak ada lagi larangan. Ini nanti otomatis akan mendorong para pelaku kebijakan lokal dan nasional, terutama lokal di Papua akan jauh lebih hati-hati. Isu korupsi yang selama ini terdengar sangat kencang, dan isu pelanggaran HAM yang sering dilakukan aparat keamanan ketika berhadapan dengan masyarakat, bisa semakin terkontrol," ujarnya.
AJI Indonesia menurut Suwarjono, bersama kelompok jurnalis lainnya akan memantau kebijakan Presiden Jokowi ini sampai dan terealisasi di lapangan, tak hanya di level kebijakan.
Pemerintah Indonesia dalam 10 tahun terakhir menerapkan aturan ketat bagi media asing yang ingin melakukan liputan di Papua. Setiap permohonan kunjungan jurnalistik media asing akan diproses dalam rapat antara instansi pemerintah terkait yang diselenggarakan di Kementerian Luar Negeri.
Meski tidak ada istilah resmi yang merujuk pada hal tersebut, tetapi awak media mengenalnya dengan Clearing House. Jurnalis asing harus memperoleh Visa Kunjungan Jurnalistik yang diberlakukan bagi wartawan asing dan pembuat film dokumenter di Indonesia.
Jurnalis asing yang ketahuan meliput tanpa izin di Papua bisa dijatuhi hukuman pidana. Tahun lalu, dua wartawan Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat dijatuhi hukuman penjara setelah tertangkap saat mencoba membuat film dokumenter tentang gerakan pro kemerdekaan di Papua.