Tautan-tautan Akses

Trump Bela Putranya dan Usahanya Rangkul Rusia


Kandidat presiden saat itu, Donald Trump, ditemani Pendeta Pat Robertson, melambaikan tangan saat tiba di Regent University di Virginia Beach, Virginia (foto: AP Photo/Steve Helber)
Kandidat presiden saat itu, Donald Trump, ditemani Pendeta Pat Robertson, melambaikan tangan saat tiba di Regent University di Virginia Beach, Virginia (foto: AP Photo/Steve Helber)

Presiden AS Donald Trump membela usahanya merangkul Rusia dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Christian Broadcasting Network (CBN), Rabu. Trump juga membela putranya, Donald Junior, yang baru-baru ini merilis sejumlah email yang mengguncang Washington.

Email-email itu mengungkap sebuah pertemuan tahun lalu antara sejumlah pejabat kampanye Trump dan seorang pengacara Rusia yang menawarkan informasi yang merusak reputasi saingan Trump dalam pemilihan presiden, Hillary Clinton.

Dalam sebuah wawancara dengan penyiar Kristen konservatif Pat Robertson di stasiun televisi CBN, Presiden Trump mengatakan bisa berhubungan sangat baik dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

"Dialog itu penting. Tanpa dialog, akan ada bagi masalah bagi negara kita dan bagi negara mereka. Saya kira, kita perlu berdialog,” ujar Trump.

Trump juga menggunakan Twitter untuk membela anaknya, Donald Junior, setelah perilisan email yang mengungkap pertemuan kubu kampanye Trump dengan seorang pengacara Rusia yang menawarkan informasi yang merusak reputasi Hillary Clinton.

Trump lagi-lagi mengecam penyelidikan mengenai keterlibatan Rusia dalam pemilu AS sebagai usaha mengada-ada. Namun, calon pilihan presiden untuk memimpin FBI, Christopher Wray, dalam sidang konfirmasinya di Senat, menyatakan tidak sepakat dengan pendapat Trump.

"Kesetiaan saya adalah kepada Konstitusi, peraturan hukum dan misi FBI. Hingga sejauh ini, tidak ada seorang yang meminta saya menjanjikan kesetiaan kepadanya, dan saya pastikan tidak ada yang melakukan itu,” ujar Christopher Wray.

Pengungkapan email-email Donald Trump Junior membuat Gedung Putih mengambil sikap membela diri, dan membuat banyak tokoh Demokrat prihatin, termasuk Senator Tim Kaine dari Virginia.

"Belum ada yang terbukti. Namun kita sekarang sekarang berada dalam tahap penyelidikan pelanggaran hukum. Ini mungkin mengenai pemberian kesaksian palsu di bawah sumpah dan bahkan kemungkinan makar,” ujar Senator Tim Kaine.

Sejumlah tokoh Partai Republik juga mengungkapkan keprihatinan, termasuk Ketua DPR Paul Ryan.

"Saya mendukung Bob Mueller sebagai jaksa khusus, dan saya kira kita perlu mendukung dirinya dan timmya, serta para penyelidik di Kongres untuk melakukan tugas mereka,” ujar Paul Ryan.

Pengamat politik Kyle Kondik dari Universitas Virginia mengatakan, terungkapnya email-email itu membuat Gedung Putih mengambil sikap membela diri terkait kemungkinan hubungan dengan Rusia.

"Cerita-cerita negatif mengenai Rusia yang terus-menerus bermunculan sangat menyedot perhatian. Apakah ini akan menimbulkan persoalan hukum bagi pemerintahan Trump, atau orang-orang yang duduk di pemerintahan Trump, masih terus diamati,” ujar Kyle Kondik.

John Fortier, pengamat dari Bipartisan Policy Center, mengatakan, keprihatinan publik terhadap penyelidikan Rusia membuat tingkat dukungan terhadap presiden merosot.

"Ketika Trump memecat Direktur FBI James Comey, tingkat dukungan terhadap dirinya menurun. Kini ia berada pada tingkat dukungan 40 persen. Ini menyulitan presiden dan kemungkinan tidak akan segera berubah.”

Isu Trump dan Rusia juga mempersulit Partai Republik memenuhi janji mereka untuk membatalkan dan mengganti undang-undang layanan kesehatan yang disebut Obamacare. [ab/uh]

XS
SM
MD
LG