Diterangi pohon Natal di Grand Palace yang biasanya dipadati wisatawan, sepasang insan berpelukan. Hanya merekalah yang tampak di salah satu di lapangan bersejarah di Eropa itu Selasa sore (24/11).
Selain tentara yang menghangatkan diri di dalam kendaraan lapis baja mereka di malam yang dingin November ini, tidak ada orang lain di lapangan itu.
Inilah kota Brussels – yang bukan saja merupakan ibukota Belgia, tetapi juga pusat administrasi Uni Eropa yang terpaksa menyesuaikan diri dengan situasi keamanan yang tidak menentu.
Brussels memasuki hari keempat kebijakan “lockdown” hari Selasa (24/11), di mana hampir semua toko di pusat kota dan sekolah-sekolah tutup, sementara transportasi publik sangat terbatas. Pejabat-pejabat Belgia mengatakan sekolah mungkin dibuka kembali hari Rabu (25/11) tetapi secara bertahap.
Dari pusat kota Brussels hingga ke Molenbeek – distrik terpencil yang penduduknya sebagian besar migran di mana sedikitnya tiga militan Islamis melancarkan serangan teror di Paris tanggal 13 November lalu, hingga ke Liege – tempat kelahiran Kaisar Charles Agung yang menyatukan sebagian besar Eropa pada Abad Pertengahan, berlangsung perburuan atas jaringan militan Islamis, yang dikhawatirkan sedang merencanakan serangan serupa dengan yang dilancarkan di Paris.
Tersangka utama serangan di Paris adalah Salah Abdeslam yang berusia 26 tahun, penyerang yang pada saat-saat terakhir tampaknya gugup dan gagal meledakkan rompi bom yang dipakainya dan kini masih buron dan mungkin melarikan diri dengan menerobos penjagaan polisi di dekat Liege beberapa hari lalu.
Pejabat kontra-teroris Eropa memperkirakan sedikitnya lima ribu warga Eropa telah bergabung dengan kelompok jihadis itu di Suriah. Beberapa analis memberikan angka yang jauh lebih tinggi, bahkan mungkin dua kali lipat. Ratusan orang telah kembali.
Menurut Pieter Van Ostaeyen – analis ekstrimis Islam mengatakan dari sekitar 516 warga Belgia yang pergi dan bertempur di Suriah, sedikitnya 120 telah kembali. Melihat jumlah penduduknya, “sejauh ini Belgia adalah negara Eropa yang warganya paling banyak terlibat sebagai elemen asing dalam Perang di Suriah,” tambah Pieter.
Meskipun beberapa pemimpin seperti Presiden Perancis Francois Hollande dan Perdana Menteri Belgia Charles Michel mengatakan bahwa kehidupan normal akan segera pulih, tidak banyak orang di Brussels yang percaya bahwa kehidupan mereka akan kembali seperti dulu.
Meningkatnya ancaman teroris Islam radikal, ketidakpuasan warga Muslim dan perbatasan yang terbuka, ditambah krisis migran dan pengungsi, menciptakan masalah besar, yang menurut sebagian analis, tidak akan bisa ditangani oleh Eropa.
Untuk mengatasi hal itu dibutuhkan kondisi keamanan yang normal.
Ini termasuk meningkatkan saling tukar informasi di antara badan-badan intelijen Eropa, pengumpulan data yang lebih luas seperti yang dilakukan Amerika, dan yang sebelumnya dikritik pemimpin-pemimpin Eropa sebagai kebijakan yang mengganggu. Langkah itu harus dilakukan tanpa memojokkan warga Muslim dan menghilangkan banyak kebebasan bagi warga Eropa. [em/ii]